Skip to main content

#Day 19: Surti dan Tiga Sawunggaling

Juli tahun lalu saya dan teman saya Mariya Qibtiyah a.k.a @morninghater__ menyempatkan diri menonton pertunjukan teater di Komunitas Salihara, jalan Salihara No. 16 Jakarta Selatan.
Yang kami tonton kala itu adalah Surti dan Tiga Sawunggaling, yang diperankan monolog oleh Ine Febriyanti dan disutradarai oleh Sitok Srengenge dan Naskah ditulis Goenawan Mohamad.

Ine sebagai Surti

Surti dan Tiga Sawunggaling, teater Salihara pertama yang saya tonton ini berhasil membuat saya takjub, dan saya rasa teman saya pun sama takjubnya dengan saya. Kami sama-sama takjub dengan akting Ine Febriyanti, bayangkan selama 90 menit dia memerankan sebuah tokoh bernama Surti, harus bermonolog selama itu (hapal banget naskah 90 menit busyet!) juga tentang bagaimana Ine begitu mendalami perannya , dan dalam 90 menit tersebut tak hanya bermonolog tapi juga menari. Saya terkesima, sungguh!

Oke, saya akan bercerita sedikit tentang Surti dan Tiga Sawunggaling ini.

Surti menggambarkan kesunyian seorang perempuan, namun di balik kesunyian dan kesederhanaannya itu terdapat hati yang bergejolak, amarah, rasa cemburu, dan juga sakit hati atas kehilangan yang begitu dalam. Setelah kehilangan suaminya karena ditembak mati oleh serdadu Belanda, Surti mengisi hari-harinya dengan membatik. 

Salah satu batik yang sedang dikerjakannya yaitu Tiga Sawunggaling. Menurut legenda, Sawunggaling adalah burung mitologis yang berasal dari benua yang terbelah. Dari belahan benua itu, mengalirlah lahar yang kemudian membeku dan menjadi cermin. Oleh karena itu, Sawunggaling pun disebut sebagai makhluk cermin, yang memantulkan apa yang kita lihat, kita dengar dan kita ceritakan. Begitu juga dengan Surti, ia seolah terhanyut oleh kegiatan membatiknya, oleh tiga karakter Sawunggaling yang ia torehkan di atas kain batiknya, ia seolah melihat tiga kepribadian dirinya yang lain dalam burung itu, tiga kepribadian yang sungguh sangat bertolak belakang dari dirinya.

Tiga karakter Sawunggaling tersebut oleh Surti diberi nama Anjani, Baira dan Cawir. Surti menamai mereka demikian agar mudah diingat dari urutan alphabet A,B,dan C. Surti mewarnai tiga burung tersebut berbeda-beda, Anjani diwarnai oleh merah kembang sepatu, Baira berwarna Biru, dan Cawir berwarna Ungu. 

Dari ketiga burung tersebut, Surti mendengarkan kisah tentang kematian suaminya, Marwoto yang kerap dipanggil Jen, seorang komandan gerilya yang gemar memburu mimpi. Dari sana lah akhirnya ia menguak fakta-fakta tentang Jen, tentang mimpi-mimpinya, skandal, dan juga rahasia-rahasia, semua muncul silih berganti seiring konflik yang dimuncuylkan oleh tiga karakter Sawunggaling yang berbeda.
Ine dan Sitok Srengenge
Menurut saya, yang menarik dari pertunjukan ini adalah perpaduan cahaya, musik, dan gerak tari dan juga naskah yang sangat kuat. Saat Surti trance oleh karakter Anjani yang centil, seluruh layar disorot oleh lampu warna merah kembang sepatu, Surti pun menari, meliuk-liukkan badannya centil dan kemayu, begitu pun ketika ia trance oleh karakter Baira dan Cawir. 

Di atas panggung hanya ada beberapa properti, bangku, tiga lembar kain pile yang menggantung, alat membatik, dan juga keranda yang muncul di akhir cerita. Terkesan sangat minimalis dan sederhana memang, namun benda-benda tersebut dapat dengan kuat mewakili khayalan dan kenangan-kenangan Surti.

Oh, ya tanggal 1 sampai 3 Juni mendatang Ine akan tampil lagi di Salihara, kali ini mempertunjukkan Miss Julie drama asal Swedia. Hmmm nonton lagi gak ya? Semoga saya masih punya kesempatan untuk nonton pertunjukkan-pertunjukkan seperti ini. Berharap bisa nonton lagi sama @Morninghater__ lagi, pulang larut malam dan semoga gak digrebek FPI (Nah lo!!!)

Foto pertama dan yang terakhir saya ambil diam-diam dengan kamera telepon saya. Upss jangan bilang-bilang yaaaa

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu