Skip to main content

#Day 25: Pekerjaan Adalah apa yang Kita Lakukan

Benar sekali, pekerjaan seharusnya berarti apa yang kita lakukan bukan tempat yang kita tuju. Ada yang tahu maksud dari kalimat saya tersebut apa?

Setahun yang lalu ketika saya masih bekerja di kawasan perkantoran Jakarta Pusat, saya bisa menghabiskan waktu 4 jam di jalanan menuju kantor, (pulang-pergi Bekasi - Jakarta). Alasannya kenapa? Bukan karena jarak yang jauh, tapi karena MACET, belum lagi kalo kereta commuter line yang saya tumpangi bermasalah, atau gangguan cuaca buruk yang membuat jalanan begitu seram dan lagi-lagi macet masalah utamanya. Bayangkan jika saya menghabiskan waktu 4 jam di jalan dalam sehari berapa jam yang saya habiskan selama sebulan? Yup, 20 hari kerja berarti 80 jam dan kalau setahun tinggal kalikan saja dengan 12, hasilnya adalah.... Fuulllaaaaa saya menghabiskan 960 jam yang equal dengan 40 hari. Bisakah anda bayangkan 40 hari saya habiskan di jalan?

Coba kalau diconvert ke hari yang produktif, sungguh saya bisa mendapatkan bayaran 2 bulan gaji. Ya gak?? Kasihan ya?
Namun, saya tidak sendirian. Berjuta-juta pekerja mengalami masalah yang sama dengan saya, termasuk juga Mas-Mas ganteng yang dilihat Mariya di sepanjang kawasan perkantoran Jl. Jend. Sudirman. Nasibnya sama seperti saya. Dan Ironisnya, kejadian seperti ini berlangsung sejak lama tanpa pemecahan, malah justru semakin memburuk. Gak salah juga kalau Justin Bieber bilang Indonesia is such a random country. Oppss!! Sorry.


Tapi bukan masalah itu yang membuat saya resign dari pekerjaan saya sebelumnya dan berpindah kerja di perusahaan advertising sampai saat ini. Di perusahaan saya yang sekarang ini saya tidak perlu lagi berhubungan dengan macet, bahkan saya bisa bangun siang dan masuk kantor jam 10:00 meski pulangnya kadang tengah malem atau pagi.

Seperti yang saya bilang tadi, pekerjaan adalah apa yang kita lakukan bukan tempat yang kita tuju. Jadi sudah seyogyanya saya memilih pekerjaan yang membuat saya nyaman dan tidak buang-buang tenaga dan waktu yang tidak berarti hanya untuk bermacet-macet ria. Alasan saya resign dari perusahaan sebelumnya adalah karena saya merasa seperti "robot", melakukan pekrjaan robot yang begitu kaku, less initiative dan under instruksi, hingga saya bertanya, apa yang sebenarnya saya lakukan disini, saya merasa tidak nyaman. Bukankah pekerjaan adalah apa yang kita lakukan, dan yang saya lakukan adalah pekerjaan robot which means saya adalah robot.

Beruntung saya dapat pekerjaan di Advertising ini, saya merasa seperti manusia, dituntut punya inisiatif dan ide yang tinggi. Saya tidak lagi menjadi robot dan saya tahu apa yang saya kerjakan (setidaknya saya mencoba seperti itu). Namun ternyata saya menemukan hal-hal di lingkungan kerja saya yang baru ini yang bertentangan dengan sesuatu yang sangat principil yang sangat saya pertahankan. Dan saya merasa tidak mampu lagi untuk fight for hal-hal principil tersebut. Pacar saya bilang, "Kamu seharusnya bisa kompromi dengan keadaan di mana kamu berada". Saya tahu itu dan saya sudah beradaptasi dengan baik, saya rasa. Namun ada hal-hal yang tidak bisa saya pungkiri yang mebuat saya merasa tidak nyaman di advertising company ini.

Pacar saya kemudian berkata lagi, "tidak ada pekerjaan yang ideal, bu".
Ah, saya tahu itu sayang, tidak ada satu pun pekerjaan yang ideal. Saya yakin memang tidak ada. Akhirnya saya menjelaskan padanya, bahwa pekerjaan bukan lagi HANYA sesuatu yang saya kerjakan, pekerjaan bukan semata mencari penghidupan dan juga pengalaman, namun pekerjaan juga harus menjadi "rumah kedua" buat saya. Home, karena saya tentunya akan menghabiskan waktu saya lebih banyak di sana...

Saya, percaya suatu saat nanti saya akan settle.
Saya percaya itu. Tolong doakan saya.

image taken from www.deccanchronicle.com

Comments

Unknown said…
Didoakan semoga settle jadi istri yang baik. *BatukKecil*
Unknown said…
Jadi Mas-Mas di jalan Sudirman itu kaya gitu ya masalahnya?

Hmmm....

Tapi tetaplah, saya tidak menyesal mengenal mereka. Itu namanya laki-laki produktif. Whoaaalaaaa...

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu