Skip to main content

#Day 30: Berguna dalam Ketidakbergunaan

Pak Mayan dan Pak Wira, setelah matahari meninggi, beristirahat di warung kecil pinggir kampung untuk meminum kopi. Siang ini sungguh mereka sangat kelelahan, beberapa pohon di hutan yang mereka tebang masih tergolek di tengah hutan menunggu truk-truk pengangkut yang akan datang setelah jam tiga sore.

Kopi hitam buatan Neng Lilis yang manis membuat Pak Mayan dan Pak Wira lupa akan lelahnya. Kedua buruh penambang hutan itu bercakap sambil menyantap beberapa potong pisang goreng dan telur asin.


Pak Mayan : Kamu lihat pohon yang sangat besar di perbatasan hutan dan kampung ini? Batang dan cabangnya berliku-liku hingga sulit diukur dengan meteran. Pohon itu sungguh tidak berguna, jika dijadikan tiang rumah pasti ia akan menghasilkan jamur dan cacing-cacing. Kalau dijadikan perahu kayu pasti perahu itu akan tenggelam, jika dibuat atap rumah atau pun kursi dan perabot rumah tangga lainnya pasti akan cepat keropos dimakan rayap. Pohon itu sudah tua sekali dan sangat tidak bermanfaat.

Pak Wira : Yan, kalau aku jadi pohon itu aku akan bersyukur karena aku tidak berguna. Bukankah orang seperti kita ini akan menebang pohon itu kalau dia berguna? Itu lah kenapa pohon itu masih bisa bertahan sampai sekarang ini, aku yakin usianya melebihi usia kampung ini. Dari sudut pandang pohon, berguna berarti bencana. Pohon yang paling beruntung adalah pohon yang tidak berguna.



Comments

Unknown said…
kalau boleh itu itu pohon ada didaerah mana??

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu