Skip to main content

Banality of Evil

Astagfirullah....
Sungguh saya sangat tidak menyukai gambar yang saya posting sendiri di blog ini, (tengok gambar sebelah). Mengerikan bukan? Dengan alasan apapun dan untuk tujuan apapun saya sangat tidak menyukai dan mengutuk kekerasan.

Cuplikan gambar di samping adalah sepenggal potret Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya di negeri saya tercinta Indonesia. Gambar tersebut saya ambil dari Harian Kompas.com yang menyoroti Satpol PP pada saat penggusuran makam Mbah Priok beberapa bulan yang lalu, (basi banget ya beritanya?). Di sana diberitakan bahwa ada sebanyak lima anak berusia belasan tahun yang sekarat setelah dipukuli oleh Satpol PP dengan tangan kosong dan tongkat di depan makam Mbah Priok.

Meski sudah tersungkur babk belur dan tak berdaya di tanah, namun sejumlah Satpol PP tersebut terus memukuli lima anak tersebut secara bergantian. Tidak hanya satu orang, tapi anak-anak tersebut dikeroyok beramai-ramai.

“Biarin, diamin saja biar mati sekalian. Teman kita juga banyak yang terluka parah,” teriak
salah seorang Satpol PP di Jakarta, Rabu (14/4/2010).

Setelah puas memukuli anak-anak tersebut, sejumlah Satpol PP lantas menyeret tubuh lima bocah ke tempat yang agak ja
uh dari gerbang makam Mbah Priok. Namun, tubuh para bocah yang sudah berlumuran darah itu diletakkan begitu saja di jalan.

Betapa banal-nya ya fragmen kehidupan di negeri tercinta ini. Saya miris dan ngeri sekali melihatnya. Para Satpol PP itu mungkin hanya robot
penggerak dari sebuah sistem yang menginginkan sebuah keteraturan. Mereka hanya "menjalankan tugas" tapi apakah kekerasan jalan pintasnya? Merasa bersalahkah mereka? Saya rasa tidak. "Kami hanya menjalankan tugas," Perhaps, begitulah dalilnya.

Mungkin inilah salah satu contoh yang dimaksud oleh Hannah Arendt sebagai "Banality of Evil". Konsep banality of evil ini di cetuskan oleh Arendt dalam menyikapi seorang top administrasi SS Nazi yang bernama Adolph Eichmann yang bertanggung jawab atas kematian jutaan warga Yahudi pada tahun 1961 di Jerusalem yang di sebut sebagai peristiwa Final Solution. Disini Arendt tidak menggambarkan Eichmenn sebagai seorang monster yang haus darah atas tindakan brutalnya itu, Arendt justru menganggap bahwa Eichmenn adalah orang yang normal.

Eichmann, dalam persidangannya terkait tragedi ini mengakui bahwa perbuatannya tersebut bukanlah merupakan sebuah kesalahan, tapi semata-mata adalah sebuah proses menjalankan perintah. Bagi Arendt, semua pembunuhan itu dilakukan oleh Eichmann tersebut bukanlah karena sifat kekejaman yang ada dalam dirinya, tapi semata-mata karena Eichmann melarutkan dirinya dalam aturan dan kontrol Nazi. Eichmann tidak kejam. Ia hanya menuruti perintah.

Singkatnya mungkin seperti ini: seorang yang melakukan kejahatan, kekerasan, brutalisme, premanisme, karena sebuah sistem tertentu yang “mensahkan” kejahatan itu, bukanlah sebuah kejahatan. Di sini, kejahatan menjadi sesuatu yang sangat blur, timpang, dan dangkal, karena kejahatan diukur bukan berdasar patokan perikemanusiaan yang relatif universal, tapi berdasar aturan dalam suatu sistem yang sempit. Kejahatan yang diperintahkan sistem bukanlah kejahatan—kira-kira semacam itulah konsepnya.
Doing terrible things in an organized and systematic way rests on "normalization." This is the process whereby ugly, degrading, murderous, and unspeakable acts become routine and are accepted as "the way things are done." (Herman)
Tidakkah hal ini sama saja dengan masa Orde-Baru?? Lalu, apa yang dapat kita harapkan dari sistem yang seperti ini? Seolah-olah tidak ada lagi nilai kemanusiaan. Dan, apa/siapa yang harus disalahkan? Sistem? Atau apa..........?

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu