Skip to main content

The Reader: a Slight View of Banality of Evil

Saya akan membahas tentang banality of evil lagi (duduk yang manis dan jangan bosan ya). Namun kali ini sepenggal banality of evil yang ada pada sebuah film, film yang telah lama sekali saya beli dan baru saya tonton beberapa waktu yang lalu.


Judulnya The Reader.

Film yang di sutradarai oleh Stephen Daldry (2008) ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karangan Bernhard Schlink yang terbit pada tahun 1995. Sesuai dengan judulnya, dalam film berdurasi 124 menit ini kita akan disuguhkan oleh pembacaan-pembacaan karya sastra dan juga dialog yang panjang.


Film ini bercerita tentang sebuah drama cinta terlarang seorang remaja pria dengan wanita yang umurnya jauh lebih tua darinya. Michael Berg (David Kross) dan Hannah Schimtz (Kate Winslet) terlibat dalam romantika cinta yang tak biasa. Berg yang masih duduk di bangku sekolah mencintai Schimtz seorang kondektur kereta api yang selalu ia temui secara diam-diam sepulang sekolah.

Yang menurut saya unik dari kisah cinta Berg dan Schimtz ini adalah setiap kali mereka bertemu, Schmitz yang mulai tertarik pada karya-karya sastra, menyuruh Berg untuk membacakannya sebuah buku sebelum pada akhirnya mereka bercinta. Buku-buku yang di bacakan oleh Berg antara lain yaitu The Lady with the Dog, The Odyssey, Romeo and Juliet, sampai Huckleberry Finn. Hingga pada akhir cerita barulah diketahui bahwa Schmitz adalah seorang yang buta huruf, yang tidak tahu bagaimana harus membaca dan menulis sehingga ia selalu minta dibacakan buku-buku sastra tersebut.

Meski penuh dengan kisah cinta dan erotisme di dalamnya, menurut saya The Reader bukan hanya berisikan melodrama dan buku semata. Film ini mengambil setting politik jaman Nazi, meski tidak mendominasi seluruh cerita namun dapat dilihat ada unsur-unsur politik Nazi yang kental di scene-scene akhir cerita. Jangan kecewa jika anda tidak melihat Hitler maupun pasukan-pasukannya dalam film ini, namun kita akan disugguhkan tentang bagaimana Schmitz duduk sebagai terdakwa dalam sebuah pengadilan bagi bekas pasukan SS milik Nazi.

Setelah Schmitz berhenti dari pekerjaan lamanya sebagai kondektur kereta api dan di promosikan sebagai penjaga sipir bagi tahanan wanita Yahudi, Berg mulai kehilangan Schmitz, dan dari sinilah konflik dan intrik berawal. Bertahun-tahun lamanya Berg kehilangan cinta pertamanya secara tiba-tiba, sehingga ia merasa frustrasi dan dikhianati. Berg kemudian menjadi mahasiswa hukum yang belajar soal pengadilan. Tak dinyana, magang pengadilan pertama yang dihadiri Berg adalah pengadilan bekas pasukan SS Nazi dengan Schmitz sebagai terdakwa utamanya. Keadaan menjadi rumit bagi Berg, karena ia tidak bisa mengungkapkan pada pengadilan rahasia Schmitz selama ini yang mungkin bisa meringankan hukuman Schmitz. Yaitu bahwa Schmitz adalah seorang yang illiterate.

Yang menjadi pusat perhatian saya dalam film ini adalah bagian dari proses pengadilan Schmitz, meskipun bagian ini tidak mendominasi isi dari cerita maupun novel The Reader. Sebagai penjaga sipir kamp konsentrasi Nazi yang ditugaskan menjaga 300 wanita Yahudi dalam tahanan Nazi, Schmitz seharusnya bertanggung jawab atas "kekejaman" nya atau yang ia sebut sebagai "kelalaian" yang mengakibatkan 300 orang tahanan wanita itu tewas. Namun yang mengejutkan adalah, pernyataan-pernyataan Schmitz dalam pengadilan itu, pernyataan yang lugas dan tegas. Tak ada sedikitpun rasa bersalah maupun menyesal dalam dirinya atas kematian 300 wanita Yahudi tersebut. Dengan ringannya ia menjelaskan proses pemilihan wanita-wanita Yahudi yang akan dibunuh. Dan Schmitz berdalih bahwa yang ia lakukan adalah semata-mata karena "tugas" yang diperintahkan oleh atasan padanya.

Mungkin inilah yang dimaksud oleh Hannah Arendt sebagai "Banality of Evil". Konsep banality of evil ini di cetuskan oleh Arendt dalam menyikapi seorang top administrasi SS Nazi yang bernama Adolph Eichmann yang bertanggung jawab atas kematian jutaan warga Yahudi pada tahun 1961 di Jerusalem yang di sebut sebagai peristiwa Final Solution. Disini Arendt tidak menggambarkan Eichmenn sebagai seorang monster yang haus darah atas tindakan brutalnya itu, Arendt justru menganggap bahwa Eichmenn adalah orang yang normal.

Eichmann, dalam persidangannya terkait tragedi ini mengakui bahwa perbuatannya tersebut bukanlah merupakan sebuah kesalahan, tapi semata-mata adalah sebuah proses menjalankan perintah. Bagi Arendt, semua pembunuhan itu dilakukan oleh Eichmann tersebut bukanlah karena sifat kekejaman yang ada dalam dirinya, tapi semata-mata karena Eichmann melarutkan dirinya dalam aturan dan kontrol Nazi. Eichmann tidak kejam. Ia hanya menuruti perintah.

Singkatnya mungkin seperti ini:
seorang yang melakukan kejahatan, kekerasan, brutalisme, premanisme, karena sebuah sistem tertentu yang "mensahkan" kejahatan itu, bukanlah sebuah kejahatan. Di sini, kejahatan menjadi sesuatu yang sangat blur, timpang, dan dangkal, karena kejahatan diukur bukan berdasar patokan perikemanusiaan, tapi berdasarkan atas aturan dalam suatu sistem yang sempit. Kejahatan yang diperintahkan sistem bukanlah kejahatan—kira-kira semacam itulah konsepnya.

Doing terrible things in an organized and systematic way rests on “normalization.” This is the process whereby ugly, degrading, murderous, and unspeakable acts become routine and are accepted as “the way things are done.” (Herman)

Dalam hal ini Arendt menganggap bahwa Eichmann dan orang-orang semacamnya adalah korban dari sebuah sistem yang memerintahkan mereka, mengontrol, dan memanipulasi otak mereka agar tunduk pada perintah. Sama halnya dengan Schmitz dalam film ini. Pikirannya menjadi dangkal, dan menganggap bahwa kejahatan tersebut adalah sesuatu yang memang seharusnya terjadi dan sah-sah saja (normal) demi sebuah keteraturan dan bukan merupakan suatu kekejaman.

Jika begitu adanya, nilai-nilai kemanusiaan akan runtuh. Dan apa yangharus dipersalahkan akan hal ini. Sistem? Tentu saja, dan menurut saya sistem yang semacam ini bukan hanya dimonopoli oleh Nazi saja, bahkan di negara kita tercintapun pernah mengecap sistem yang seperti ini, sebut saja jaman Orde Baru dulu. PAda jaman Orba dulu, kepatuhan pada sistem bukan hanya akan memberikan keuntungan semata namun juga hal itu akan menjadi suatu yang lebih baik dari pada menentangnya, meskipun perintah berbuat sesuatu yang jahat sekalipun.

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu