Skip to main content

Kloset atau Diary?

Beberapa minggu yang lalu saya mengeluarkan isi lemari buku saya demi mencari sebuah novel yang saya lupa meletakkannya dimana, hingga pada akhirnya setelah dengan seenaknya saya menghamburkan buku-buku koleksi saya di atas kasur, barulah saya ingat bahwa novel yang saya cari terselip di lemari pakaian (Loh, kok bisa? entahlah)

Dari pencarian tersebut, saya menemukan sebuah buku usang, warnanya telah berubah coklat dan saya telah hampir saja melupakan keberadaan buku tersebut.

Itu adalah buku diary saya.

Catatan harian yang setia menjadi tempat sampah bagi keseharian dan perasaan saya yang absurd. Sebelum akhirnya saya lebih mencintai blog ketimbang buku harian tersebut. Saya memang sangat menyukai diary atau apapun yang bisa merekam kehidupan saya dan membuatnya menjadi abadi. Segalanya saya tulis di sana, perasaan saya, kengerian saya, aktivitas saya, apapun.

Lalu apa yang terjadi setelahnya, saya buka kembali lembaran-lembaran usang tersebut, dan membacanya tentu saja. Well, rasanya seperti membuka Kotak Pandora, ada kesedihan, keceriaan, sesal, rasa sakit, bahagia, campur aduk jadi satu keluar dari sana yang tentu saja semua berasal dari fragmen-fragmen masalalu yang menjelma lagi di hadapan saya.

Kemudian saya teringat akan sebuah puisi, Renungan Kloset, yang di tulis oleh si Oneng, Rieke Dyah Pitaloka. Begini penggalan puisinya:
Ada baiknya kita tak perlu, mengores hidup kita dalam berlembar-lembar buku harian
Suatu saat nanti jika kita membacanya kembali…
manis, membuat ingin kembali pada masa itu
pahit, membuat duka tak bisa dilupakan dan dendam tak bisa hilang
Ada baiknya kita sesekali perlu, merenung hidup kita dalam tenang kloset yang diam
Tak perlu malu untuk mengenang, tersenyum atau mengangis
Setelah itu, siram bersama bau busuk dan sampah dari perut kita tanpa ingin mengecapnya kembali
Lalu, bersiaplah menyantap makanan baru yang lebih baik dr hari kemarin.
Buku harian atau diary bagi saya bisa menjadi semacam prasasti, sebuah bukti sejarah. Benda ajaib bak mesin waktu yang bisa mengantarkan saya kembali ke masa lalu. Membaca kembali buku harian, seperti yang saya lakukan itu bagai memulai hidup dimana pada saat itu saya merasa ditarik kembali ke masa lalu, meskipun mungkin ada jarak yang jauh dari saat saya menulisnya dan membacanya. Secara pribadi, itu sangat berefek bagi saya.

Seperti yang dibilang Oneng dalam puisinya, "Suatu saat kita membacanya, manis, membuat kita ingin kembali ke masa lalu, dan pahit membuat duka tak bisa dilupakan dan dendam tak bisa hilang." Intinya, memori atau kenangan apapun yang saya baca menjadi sebuah siksaan tertentu bagi saya. Karena saya kembali mengingatnya dan membuat saya tersiksa, saya tidak bisa "mengulang" masalalu saya yang manis meskipun saya memintanya dengan sangat. Juga saya jadi terngiang akan peristiwa buruk yang coba saya negasikan tapi tak bisa, karena telah menjadi sebuah noda yang melekat di hidup saya.

Dan itu terejadi manakala saya membaca tulisan-tulisan usang saya. Mungkin memang ada baiknya saya hanya merenung beberapa saat di atas kloset dibandingkan harus menulisinya. Seperti yang Oneng katakan, "Ada baiknya kita sesekali perlu, merenung hidup kita dalam tenang kloset yang diam. Tak perlu malu untuk mengenang, tersenyum atau menangis. Setelah itu, siram bersama bau busuk dan sampah dari perut kita tanpa ingin mengecapnya kembali. Lalu, bersiaplah menyantap makanan baru yang lebih baik dari hari kemarin."

Dari penggalan bait itu saya merasa bahwa ada sebuah perasaan ingin membuang, baik yang indah maupun yang buruk, lalu "disiram" yang berarti melupakan. Melupakan semuanya yang telah lewat tanpa ada jejak dan bekas sekecil apapun. Dengan kata lain, maju terus ke depan tanpa melihat ataupun melirik sedikit kebelakang.

Namun saya sedikit keberatan dengan yang oneng katakan dalam puisinya itu (mungkin ini karena saya freak sama buku harian). Oneng cuma melihat kalau buku harian tersebut adalah sebuah ruang pribadi yang tak terjamah oleh pihak asing. Kalau memang seperti itu, memang buku harian hanya berfungsi sebagai penyemat kenangan-kenangan dan memori.

Tapi apa jadinya jika buku harian tersebut menjadi sebuah jembatan antara si penulis buku harian dan orang lain? Seperti yang sebenarnya ingin saya lakukan, saya ingin kelak jika suatu saat saya sudah tidak adalagi di dunia ini saya ingin, suami, anak, cucu, atau teman-teman saya belajar dari kehidupan saya yang tak sempurna lewat buku harian saya tersebut.

O iya, tidakkah kalian juga ingat seorang tokoh bernama Soe Hok Gie, tokoh yang mati muda yang kemudian di film-kan dan diperankan oleh Nicolas Saputra? Tahukah kalian bhawa Gie, seorang humanis yang idealis dan juga aktivis yang mempunyai pemikiran-pemikiran hebat tentang Indonesia, menulis sejarah dan pemikiran-pemikiran pentingnya dalam buku harian, meskipun tidak ada niat sedikitpun darinya untuk mempublikasikan bukku hariannya tersebut. Namun berkat buku hariannya tersebut yang merekam pemikiran-pemikiran dan refleksi hidupnya mampu menggemparkan Indonesia dan menyumbangkan sebuah pergerakan yang bombastis anti orde lama. Dan sayapun sedikit terinspirasi dari buah pemikirannya yang anti-kapitalis bla... bla... bla...

Lalu, bagaimana jika orang seperti Soe Hok Gie ini hanya merenungkan pemikiran-pemikirannya di atas sebuah kloset yang diam lalu "menyiram bau busuknya" begitu saja? Orang Indonesia tak akan mengenalnya juga pemikiran-pemikiran idealisnya dan Nicolas Saputra juga tak akan meraih piala citra karena memerankan tokohnya... (LOL)

Lalu pilih mana? Klosat atau Diary??

Artikel Terkait
Life Writer, Paper and Pen Fettish

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu