Skip to main content

Empat Sekawan, The Series : Seleen dan Kenangannya

Seleen dan Kenangannya

"Mikeu awaassss....!!!"

CCIIIITTTS....!!!

Adra, Barra, dan Seleen berteriak sekencang-kencangnya, sejadi-jadinya. Beruntung sebuah Madza putih itu punya rem yang pakem. Mikeu yang ada di depannya hanya beberapa centimeter, selamat. Pengemudinya ke luar dari mobil, setengah marah.

"Kalau main jangan di jalanan dooong!"

"Maaf Pak," Mikeu meminta maaf pada si Bapak pengemudi seraya masuk kembali ke dalam mobil. Mikeu hampir tertabrak mobil itu, tapi ia senang, kucing kecil yang sekarang berada pada genggamannya berhasil ia selamatkan dari lalu lalang kendaraan.

Adra dan Barra yang tadi histeris mendekati Mikeu dan kucing kecil yang ia selamatkan, memeriksa kalau-kalau ada yang luka pada Mikeu atau si kucing.

"Wah kamu berani sekali Mik, tadi itu hampir aja ya, untung Allah masih sayang Mikeu, jadinya kamu selamat!" Barra menepuk-nepuk pundak Mikeu.

"Waahh kucingnya bagus ya Mik, matanya hijau, lucuuu...." Adra membelai-belai kucing itu.

"Iya, mau aku kasih Seleen, kan dia sebentar lagi ulang tahun." Mikeu tersenyum bangga.

Tapi...

Seleen hanya terpaku, tatapan matanya kosong menatap jalan, masih bengong dan shock melihat kejadian tadi, kejadian yang hampir saja merenggut nyawa Mikeu.

Mikeu menghampiri Seleen yang berdiri kaku menyodorkan kucing kecil nan lucu itu.

"Seleen, lihat deh, lucu yaaa, ini buat kam..."

"MIKEU JAHAAAATT!!!"

Seleen menjerit kencang sekali di wajah Mikeu. Ada bulir-bulir bening yang hampir jatuh dari pelupuk matanya, lalu berlari menjauh meninggalkan ketiga sahabatnya yang kini hanya bisa melongo.

"Loh kok Seleen gitu?"
"Iya, emangnya Mikeu salah apa?"
"Kejar yuk!"

Banyak pertanyaan muncul di benak mereka. Tapi Seleen berlari entah kemana, ketiga anak mungil itu tak mendapat jawaban atas tingkah aneh Seleen barusan.

***
Seleen terduduk di bangku taman, di bawah beringin yang rindang. Matanya menatap nanar ke arah kerikil-kerikil di sekitar kakinya, namun pikirannya melayang jauh. Melayang bersama mesin waktu yang mengantarnya ke masa tiga tahun lalu, saat Seleen masih tinggal di kota Depok.

***

"Seleen, kalau makan dihabiskan dong!"
"Gak, ah capek makannya!"
"Loh kok gitu sih, kan kasihan Bunda kamu sudah capek-capek masak makanan enak gini, nanti Bunda kamu marah loh, makanannya gak dihabisin!"
"...iiihh kan ada Gio, Gio aja yang abisin ya..!" Seleen menyodorkan kotak makan siangnya pada temannya itu dengan mata yang ia kerjap-kerjapkan genit supaya Gio mengabulkan keinginannya.

"Ih Seleen, kan udah aku bilang berkali-kali klo nama aku tuh 'jiyo' bukan gio.." 
"Ah, tapi kan itu di buku kamu tulisannya Ge-i-Ow...Gio!"
"Iya siih tulisannya Gio tapi dibacanya Jiyo, Seleen!"
"Pokoknya Seleen cuma mau panggil kamu Gio, titik!"
"Iya deh... Iya"
"Hihi Gio lucu ya, lama-lama Gio mirip Abang sepupu Seleen hehe, pulang sekolah nanti main lagi ke rumah Seleen ya seperti biasa"
"Iya, emangnya kapan aku gak main ke rumah kamu Leen."

***
"Gio pulang dulu ya Leen, udah mau sore nanti Mama nyariin."
"Ah, kan rumah Gio deket. Nanti biar Bunda yang telpon Mamanya Gio ya, kayak biasanya hehe."
"Tapi kan kita udah nonton film Toy's Story ini berkali-kali Leen, aku bosan."
"Ya udah kita main di taman sana yuk! Ada ayunan yang baru dipasang loh!"

Seleen meraih tangan Gio, berlari menggandengnya menuju taman.

"Seleen larinya pelan-pelan aja, nanti jatuh!"
"Biar aja aku jatuh, kan ada Gio yang nolongin"
"Ih, Seleen bandel banget sih kalo dibilangin."

"Gio ayunin aku ya, yang kenceng loh Gio, aku mau ngerasain rasanya terbang."
"Iya, tapi pelan-pelan aja ya nanti Seleen jatuh"
"Ah, Gio bawel banget sih, gak bakal jatuh kok, kan Seleen pegangan nih.. Kayak giniiii..! Pokoknya Gio ayunin yang kenceng ya.."

Braaakkk!!

"Aduh Seleen maafin Gio ya ngayunnya kekencengan, abis Seleen yang minta sih, jadi jatuh gini deh,"
"Huuuu uuuu... Sakit Gio, lihat nih dengkul Seleen berdarah.. hiks!"
"Iya.. iya ayo kita obatin di rumah!"
"Tapi Seleen gak bisa jalan Gio, gendong ya..."
"Iya sini Gio gendong."

***
"Gio tolongin Seleen dong!" Seleen menunjuk ke kedua kakinya, tali sepatunya lepas.
"Ih Seleen kapan bisa mandirinya sih, Seleen kan udah besar, harusnya udah bisa dong iket tali sepatu sendiri!"
"Tapi sepatu Seleen yang ini susah diikatnya Gioooo, lagian kan ada Gio, jadi Seleen gak perlu khawatir."
"Tapi nanti jadi kebiasaan Seleen, kalo Gio gak ada gimana?"
"Ih, emangnya Gio mau kemana? Gio mau pergi ya ninggalin Seleen? Gio kok tega banget sih!" Seleen merajuk, namun matanya mulai berkaca-kaca.
"Hmmm, ya enggak lah Seleen, Gio gak akan kemana-mana kok, cuma kan Gio gak bisa terus jagain Seleen, Gio gak bisa terus bersama-sama Seleen."
"Tapi Gio janji ya, selama Gio bisa, Gio bakal jagain Seleen terus..."
"Iya, gak usah Seleen minta juga Gio jagain Seleen. Nih udah beres sepatunya! Yuk, jalan lagi."

***

"Seleen kenapa sih kok nangis, kata Bu Puji, Seleen abis berantem ya sama Sekar di kelas?"
"Abis Sekar nya aja yang curang, masa Sekar gak mau ngaku kalo dia nyontek gambar Seleen, udah jelas-jelas gambarnya sama, ya udah Seleen cubit aja tangannya sampe merah, eh dia ngadu yang nggak-nggak sama Bu Puji, dasar anak jelek!"
"Iya, tapi Seleen gak boleh kasar gitu sama orang, Seleen harus jaga sikap, gak boleh gitu lagi ya,"
"Ih kok Gio malah nyalahin Seleen sih, Gio jahat, Gio udah gak sayang lagi ya sama Seleen??"
"Bukan gitu Seleen, Gio sayang banget sama Seleen, tapi Gio ngomong gini kan buat kebaikan Seleen juga..."
"Ah, Gio jahaaaattt!!" Tangis Seleen makin menjadi.
"Udah dong jangan nangis Seleen, cup cup cup...jangan nangis ya, jelek!"
"Tuh kan Seleen dibilang jelek, Gio jahat, Gio emang udah gak sayang sama Seleen lagi!"
"Aduuuh Seleen, bukan gitu maksud Gio, Seleen cantik, cuma kalo nangis kan jadi jelek, udah ya diem."
"Hiks...!" Seleen masih sesenggukan.

***

"Liburan gini bosan ya main di rumah aja, Seleen udah selesai baca buku cerita dari Gio, Seleen juga bosan nonton TV terus, main ke luar yuk Gio!"
"Tapi kan Seleen belum sembuh, tuh bekas cacarnya aja belum hilang."
"Tapi kan Seleen bosan, Seleen mau ke luar rumah, anterin yuk ke toko kue di depan komplek, katanya di sana jual rainbow cake loh!"
"Ngapain beli di sana, kan Bunda Seleen jago bikin kue, minta bikinin aja."
"Gio gak ngerti apa yang Seleen mau deh, Seleen tuh mau keluar rumah terus kita makan kue nya langsung di tokonya aja, kan tokonya kaya cafe, mereka jual coklat panas kesukaan Gio juga loh...!"
"Iya nanti kita ke sana tapi tunggu Seleen bener-bener sembuh yaaa."
"Iya deh"
"Ya udah, nih minum dulu obatnya"
"Suapin!"
"Seleen manja deh, katanya udah gede."
Seleen cuma cemberut.

***
Minggu pagi itu,

"Horeee akhirnya jadi juga kita ke toko kue itu. Nanti aku mau pesen rainbow cake, red velvet, stoberi short cake sama susu coklat hangat, nyam nyam nyam..."
"Banyak amat Leen, emang bakal habis makan itu semua?"
"Kan ada Gio hehehe."
"Ah, Seleen gak pernah berubah deh!"

"Seleen, Seleen jangan lari-lari dong, kan kita di jalan raya. Tadi juga Seleen nyebrangnya gak hati-hati, bahaya Seleen!"
"Abis Seleen udah gak sabar mau makan kue, ayo dong Gio juga buruan!!"

"Seleeeeennn aawwwaaasss...!!"

Braaakkk!! Ngiiikkk!

"Gio apa-apaan sih kenapa Selen didorong sampe jatuh gini, sakit tauuu!" Seleen mencoba bangun dari tempatnya terjatuh.

"Giooooo!!!"
"...." 
"Kenapa kok Gio diem aja?"
"Leen..." Nada suara Gio lemah.
"Kok Gio malah jatuh juga di sini, bangun dong, banyak darah lagi di baju Gio. Bangun ya, kita obatin di rumah!" Seleen mulai terisak.
"Leen, mulai sekarang jaga diri Seleen sendiri ya," Nadanya makin melemah.
"Giooo, emangnya kenapa?"
"Mungkin Gio dah gak bisa jaga Seleen lagi.." Mulai terpejam.
"Giooo" isak berubah tangis.
Seleen mengguncang-guncangkan tubuh Gio yang semakin terkulai lemah, tak ada jawaban. Orang-orang berkerumun.

Saat itu lah, kali pertama Seleen sadar, sudah tiba waktunya untuk menjadi mandiri dan dewasa.

***

Seleen bangkit dari duduknya. Mulai menghapus air mata yang sedari tadi mengalir. Mencoba sekuat tenaga untuk tersenyum menemui teman-temannya yang kini mungkin berada di rumah pohon.

"Mikeu, Adra, Barraaa.. Turun dong!!" Seleen memanggil dari bawah rumah pohon.

"Miiiaaauuwww!! "
Seekor kucing kecil bermata hijau nongol keluar dari pintu rumah pohon itu. Melompati tiap tangganya, turun, menjatuhkan diri di kaki Seleen, menggesek-gesekkan bulu-bulu halusnya di sana. 

"Waaahh, kucingnya udah ngerti tuh, dia mau sama Seleen!" Bunyi sebuah suara yang terdengar dari atas pohon. Suara Barra.

Mikeu, Barra dan Adra turun dari rumah pohon, menghampiri Seleen dan kucing barunya.

"Mik, maafin Seleen tadi ya, Seleen gak maksud gitu, Mikeu udah baik nyelametin kucing ini buat Seleen, tapi lain kali Mikeu hati-hati ya, Seleen cuma gak mau kehilangan Mikeu atau pun Adra dan juga Barra. Seleen takut." Menunduk.

"Iya Mikeu juga minta maaf ya kalo udah bikin Seleen takut. Tapi Seleen suka gak sama kucingnya?? Kayaknya kucingnya udah suka tuh sama Seleen"

Seleen tersenyum,memungut kucing itu dan menggendongnya.

"Iya Seleen suka, makasih ya Mik!"

"Oh iya selamat ulang tahun ya Seleeeennn!!" Hampir berbarengan ketiga teman Seleen mengucapkan selamat ulang tahun.

Selengkung senyum terbentuk di bibir mungil Seleen. Ketiga temannya mampu membawa kembali ceria di wajahnya, tanpa sedikit pun keinginan mencampuri dunia Seleen dan kenangannya. 

Kata Seleen, kucing itu mau diberi nama Jiyo.

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu