Skip to main content

Empat Sekawan, The Series : Adra dan Cermin Ajaib Mama

Adra dan Cermin Ajaib Mama


"Adra tau gak?"
"Apa Ma?" Sahut Adra yang sedang menikmati makan sorenya.
"Setiap anak cewek mesti nyobain deh gimana rasanya main-main di bawah air hujan"
"Oh ya, gimana rasanya Maaaa?" Adra menghentikan makannya yang lahap, ada kerlip dalam pertanyaan Adra. Rasa ingin tahu yang membuncah.

"Rasanya magical, seperti sulap, airnya yang bening membuat mata kita berkedip-kedip antara mau melihat airnya yang tumpah ruah dari langit atau terpejam menikmati tiap tetesnya. Lalu airnya yang bening itu membuat kamu seperti ingin menari-nari terus dan terus hingga rasa dinginnya terkalahkan oleh degup jantung kamu yang kencang saat tiap tetesnya menyentuh kulit kamu. Adra mau coba?"


Adra semakin ingin tahu apa itu rasa magical yang disebut Mama tadi.
"Terus magical itu apa Ma??"
"Magical itu rasanya seperti tersulap, seperti ada banyak peri terbang melayang-layang mengelilingi kita dan membuat kita juga ingin terbang seperti mereka, kita jadi lupa apa-apa saja yang ada di sekeliling kita. Oh iya, mereka itu cantik-cantik dan wangi loh Dra, kadang mereka juga membawa pelangi. Pasti kamu suka, kamu harus coba Dra!"
"Aaah Adra mau Ma, ayo Ma kita main hujan. Tapi hujannya kapan Ma??"

Ibu dan anak itu memandang ke luar jendela.

"Ma, mungkin gak turun hujan kalo mataharinya terik seperti itu?" Adra menunjuk matahari sore yang semakin orange membara di ufuk Barat.
Cahayanya bagai tablet effervescent yang sebentar lagi akan melarut pada air laut mengubah terang menjadi gelap. 

"Mungkin hari ini gak akan hujan, tapi kita kan bisa belajar hujan-hujanan dulu, Nak,"
"Benar Ma?? Bisa belajar dulu?? Di mana Ma?? Ayo Ma, ayooo, Adra mau sekarang juga, Adra mau ketemu peri-peri itu Maaaa!!" Adra jadi merajuk.

Mama tersenyum cerdik, Adra berhasil masuk perangkapnya.

Dari seluruh manusia yang ada di dunia ini, Mama lah yang paling mengenal Adra. Tabiat dan juga perangainya. 
Beberapa hari ini Adra sibuk sekali membuat rumah pohon bersama tiga orang temannya, Barra, Seleen, dan Mikeu di belakang rumah keluarga Priyatna, tempat paling strategis untuk dijadikan "markas" kata mereka. 
Dari rumah pohon itu bisa terlihat dengan jelas bukit kecil di belakang sekolah mereka, SD Spring Blossom. Konon di bukit kecil itulah tempat para Ibu-Ibu mereka biasa bermain sewaktu muda. Adra n the gang tak mau kalah dengan para Ibu mereka. Mereka pun harus punya tempat bermain yang jauh lebih mengasyikan dari tempat bermain para Ibu mereka. Rumah pohon.

Meski yang mengerjakan rumah pohon itu Pak Priyatna, Ayahnya Mikeu, namun anak-anak kecil itu seperti mempunyai tanggung jawab moril yang besar membantu hingga terciptanya rumah pohon mereka. Meskipun mereka cuma membantu melihat dan mengganggu Ayah Mikeu.

Alhasil Adra sering pulang telat ke rumah. Sesampainya di rumah, Adra langsung makan, mengerjakan PR atau baca buku cerita hingga akhirnya tertidur pulas. 
Tertidur hingga pagi.
Hingga Adra lupa mandi.
Kejadian seperti ini berlangsung seminggu. Adra alpa mandi sore selama seminggu. Adra merajuk ketika Mama menyuruhnya mandi selepas sampai rumah, alasannya capek dan lapar, pun Adra mengamuk jika dibangunkan dari tidurnya hanya untuk mandi.
Kelamaan Mama khawatir akan kesehatan Adra yang susah disuruh mandi. 
Tapi bukan Mama Adra jika tidak cerdik. Dikarangnya rasa magical hujan yang membuat Adra penasaran rasanya bermain hujan.

Benar saja, Adra senang sekali belajar bermain hujan. Di taman belakang rumah sore itu Mama membuat hujan bo'ongan. Mama menyebutnya hujan magic. Shower yang biasa digunakan untuk mandi dimodifikasi dengan selang yang panjang dan digantungkan di atas pohon mangga di belakang rumah.
Adra bisa merasakannya, air-air bening yang melimpah ruah menyentuh kulitnya menyingkirkan debu-debu sepanjang siang. Adra menari-nari di bawah hujan magic, mencoba terpejam membayangkan rasanya terbang, direntangkannya kedua tangan dan berputar- putar, berjingkrak-jingkrak.
Kala Adra berhenti berputar, masih dengan mata yang terpejam merasakan rasanya terbang, membayangkan dirinya melayang-layang bersama para peri, Mama mengusapkan seluruh badan Adra dengan sabun cair yang banyak, busa yang tercipta membentuk buih-buih wangi berwarna pelangi.
Adra menyebutnya buih pelangi hujan magic.
Mama menyebutnya mandi...

* * *

"Eh, anak Mama yang cantik, calon arsitek, sudah pulang. Tumben pulang cepat? Kamu gak mampir ke rumah Mikeu? Rumah pohonnya sudah jadi?"

Mama menyambut Adra yang baru saja memasuki rumah. Mang Ubuy, supir antar-jemput SD Spring Blossom mengantarnya hanya sampai pintu gerbang.

Mama melihat gelagat lain.
Ada mendung yang menyangkut di wajah putri cantiknya, kernyit di dahinya dan manyun di bibirnya. Ada yang tak beres.

"Mama bohooooong!! Adra gak cantik! Adra genduuuutt!!" 

Mama terkesiap kaget. Bukannya cium tangan Mama seperti biasa, Adra malah berhambur lari menuju kamarnya, dibantingnya pintu dan mengunci diri.

"Adra sayang, siapa bilang begitu??? Adra cantik dan sehat, kenapa kok tiba-tiba Adra marah? Buka pintunya dong! Makan siang dulu yuk Nak!"
"..."
Tak ada jawaban dari kamar Adra hanya isak manjanya yang terdengar.
"Sayang, Mama masak makanan favorit Adra loh, makan yuk!" Bujuk Mama.
"Adra gak mau makan. Kata temen-temen di sekolah Adra gendut, Adra montok. Ada yang ngeledek Adra, katanya kalo Adra naik ke rumah pohon nanti rumah pohonnya bisa ambruk Maa. Kata mereka Adra harus diet. Adra gak mau makaaaaan!!"

Mama hanya tersenyum mendengar keluh kesah Adra.
"Memangnya Adra tahu apa itu diet? Buka pintunya dong sayang!" Mama meminta sekali lagi dengan lembut.

Dari balik pintu, Adra yang tadi tersungkur di atas kasurnya, bangkit berdiri menatap cermin.

Dipandanginya dirinya. Adra yang baru saja naik kelas tiga SD berputar-putar di depan cermin. Melihat dirinya dari sana. Teman-temannya benar, pun cermin ini benar. 

Adra gendut! Katanya dalam hati.

Tapi kan Adra manis!

Ah cermin ini benar!! Adra gendut! Biar pun Adra manis tapi Adra gendut!!!

"Mamaaaa!! Hiks...!" Adra mulai menangis lagi. Lalu terdiam lagi.

Dipegangnya perutnya, dicubitnya kedua pipinya. Aaahh Adra gendut!

Lama memerhatikan dirinya di cermin Adra tersadar, perutnya bunyi. Adra lapar. Lapar sekali. Ingin rasanya Adra menahan lapar dan gak usah makan siang. Tapi Adra lapar sekali.

"Maaa... Mama masak apa?"

Mama tersenyum lagi dari balik pintu yang dikunci Adra. Sudah menduga, pasti Adra kelaparan.

Akhirnya Mama boleh masuk ke kamar Adra, dengan sepiring makan siang favorit Adra. Menu yang lengkap, segelas susu juga ada.

Adra memerhatikan baki yang dibawa Mama, menu favorit Adra. Mama memang pintar selalu saja bisa membuat Adra berselera makan, kali ini makanan yang Mama buat dibentuk sedemikian rupa hingga nasi, brokoli, wortel, udang goreng tepung, sossis, jagung manis dan buncis berubah menjadi muka badut yang lucu. 

Muka badut di atas piring itu menggiurkan. Adra menelan ludah. Dilihatnya lagi cermin di depannya.

"Gak jadi makan deh Ma." Kalimat tersebut Adra ucapkan dengan berat hati, dan Mama tahu itu.

"Oh cermin itu...". Mama meletakkan baki berisi muka badut yang lucu itu di atas meja, seraya mengambil sehelai kain berwarna gelap lalu menutupi cermin itu.

"Tuh, cerminnya udah gak ganggu kamu lagi!" Kata Mama.

"Bukan cerminnya Maaaa, tapi Adra-nya yang gendut!"

"Dengerin dulu deh cerita Mama. Mama punya cermin ajaib. Cermin yang hanya memantulkan bayangan yang kita suka. Misalnya, Adra gak suka badan Adra gemuk, dengan melihat cermin itu badan Adra gak lagi gemuk, lalu setelah melihat cermin itu, cermin-cermin biasa yang Adra lihat juga akan sama. Yang Adra lihat badan Adra gak gemuk lagi."

"Bener Ma?? Mama punya?? Adra mau lihat Ma, mana Maaa?" Adra tak sabaran.

"Makan dulu deh, nanti Mama kasih tau Adra," Mama tersenyum. Tak lama Adra pun menyantap si Muka Badut dengan lahap.

***

Dari cerita Mama, konon katanya cermin ajaib itu disembunyikan di atas bukit kecil di belakang SD Spring Blossom,kalau Adra mau Adra bisa mencarinya sendiri sepulang sekolah.

Kata Mama lagi, cermin yang tingginya hampir setinggi tubuh Adra, hanya bisa ditemukan oleh anak yang gesit, teliti, sabar juga cekatan. Mama tidak memberitahu letak tepatnya di mana cermin itu disembunyikan, asalkan yang mencari memenuhi kriteria anak gesit, teliti, sabar dan juga cekatan, pasti cermin itu mudah ditemukan.

Mama juga bilang, kalau cermin itu belum diketemukan, Adra tidak boleh ngaca di cermin manapun.

Seperti teka-teki saja. Namun Adra menyukainya, Adra semakin tertantang untuk menemukan cermin ajaib Mama itu.

Sepulang sekolah, ketika anak-anak lainnya pulang ke rumah masing-masing, Adra minta ditemani Mang Ubuy merambah bukit kecil di belakang sekolah.

Meskipun hanya bukit kecil, namun bukit ini sangat indah, banyak pohon-pohon tinggi dan bunga-bunga liar tumbuh di sepanjang jalan setapak. Udaranya pun segar. Tapi bukit yang jalan setapaknya menanjak ini sudah jarang sekali dijamah orang, wisata pantai di sebelah Barat kota lebih menarik perhatian orang-orang nampaknya. 

Baru beberapa langkah menanjak Adra sudah capek. 

"Mang Ubuy, gendong Adra dooong, Adra capek!" Dasar Adra, tatapan matanya yang berbinar manis itu mampu menyihir Mang Ubuy untuk menggendongnya. Meskipun tubuh Adra berat sekali. 

Pencarian cermin ajaib pun di mulai.

Tanpa Adra sadari, di balik sebuah pohon besar ada sepasang mata yang mengamati gerak-gerik Adra dan Mang Ubuy.  

***

Sehari, dua hari, tiga hari, empat hari sudah pencarian cermin ajaib Mama tak kunjung membuahkan hasil. Selalu nihil. Adra kesal sekali. 

Adra hampir menyerah. Mang Ubuy juga kelamaan bosan bermain-main di bukit kecil itu. Hampir semua pelosoknya sudah mereka kunjungi tapi tak juga ditemukan sedikit petunjuk di mana cermin itu berada.

Clueless, Adra bertanya pada Mama, di bagian bukit mana cermin itu tersembunyi. Jawaban Mama hanya satu, petunjuk itu cuma satu. Cermin ajaib Mama hanya bisa ditemukan oleh anak yang gesit, teliti, sabar juga cekatan.

"Adra termasuk anak yang seperti itu bukan?" Tanya Mama.

"Coba deh carinya sendiri, jangan sama Mang Ubuy." Saran Mama.

"Kok, Mama tahu Adra dianterin Mang Ubuy? Dasar Mang Ubuy gak bisa jaga rahasia! Huh!" Adra bersungut.

"Ya udah kalo gitu besok Adra cari sendiri!" Adra menantang dirinya.

***

Satu... Dua... Tiga... Huh! Capek! Di balik pohon itu gak ada, di atas pohon-pohon juga gak ada, di balik timbunan daun-daun kering nihil, semak-semak dan perdu itu juga gak mungkin menyembunyikan cermin yang tingginya sama denganku. Pikir Adra.

Adra menandai tempat-tempat yang telah ia lewati dengan sehelai pita berwarna pink hanya agar ia tidak tersesat dan ingat tempat-tempat mana saja yang telah ia telusuri. Tiap pohon yang dijumpainya, Adra mengikatkan pita itu di  rantingnya, setiap tanjakan yang ia daki, ia ikatkan pula pada perdu atau batu-batu besar begitu pun pada jalan setapak yang ia telusuri.

Adra semakin hafal dengan bukit ini. Namun, Adra masih saja belum menyadari, sepasang mata itu terus membuntuti.
Adra ngos-ngosan, peluhnya bercucuran, diambilnya botol minum dari dalam tas.
Gluk...gluk...gluk... Ah nikmat dan segarnya. Kembali Adra mendaki undakan bukit yang di kanan kirinya tumbuh bunga-bunga liar yang indah. 

Semua jalan sudah ia telusuri hari itu namun sorenya, Adra pulang ke rumah dengan hasil nihil. Lagi.

Mama cuma senyum-senyum saja melihat kegigihan anaknya.

***

Hari ini, sudah dua minggu pencarian cermin ajaib itu berlangsung. Namun masih tak ada hasilnya. Tidak setiap hari Adra pergi ke bukit itu, sekali dua kali ketika Adra merasa jenuh, ia pergi main bersama tiga temannya di rumah pohon mereka. Di halaman belakang rumah Mikeu. Adra masih belum berani naik rumah pohon mereka, ingat ejekan seorang teman di sekolah, takut ambruk. Adra menunggu di bawah saja. Teman-temannya curiga. Ada yang tidak beres dengan Adra tapi Adra diam saja. Tak mau cerita.

Diam-diam Barra, Seleen, dan Mikeu pergi ke rumah Adra. Kepada Mama Adra mereka menanyakan keganjilan apa yang sedang terjadi pada temannya itu. Mama menceritakan semua, tentang ketidakpercayaan diri Adra juga tentang Cermin Ajaib Mama yang ada di atas bukit belakang sekolah. Mereka diminta untuk membiarkan Adra melakukannya sendiri. Barra, Seleen dan Mikeu mengerti, mereka pun berjanji akan memberikan kejutan berupa hadiah kelak Adra menemukan cermin itu.

***

Sebulan kurang lima hari sudah, kupu-kupu berterbangan pada bunga-bunga sepatu yang baru merekah, tupai berloncatan seiring kicau burung yang bersahut-sahutan, sesekali terdengar suara monyet atau kera yang sembunyi di atas pohon, daun-daun pohon bambu bergesekan seolah bersimfoni tertiup angin, semuanya bagaikan berkarnaval membuat suasana bukit semarak. Sebenarnya bukit ini tak pernah sepi, ramai sekali, hampir mirip hutan, tapi mini. Adra tak pernah merasa sendiri karenanya. 

Yup. Adra memang tak pernah sendiri, sepasang mata itu selalu mengikuti. 

Dinaungj langit cerah yang awan-awannya membentuk kepala kelinci atau kambing domba nakal itu Adra tertidur kecapekan. Ditambah angin sepoi yang bertiup semilir menjatuhkan daun-daun kering membuat Adra semakin pulas bersandar di bawah pohon merbau besar. Tanpa ia sadari, si pemilik sepasang mata yang kerap mengikutinya merambah bukit, mengendap-endap di sekelilingnya yang tengah tertidur lalu meletakkan sesuatu di depannya.

Sudah saatnya, katanya sambil tersenyum nakal, menyeringai, kemudian mengendap-endap lagi untuk bersembunyi di tempat yang tidak terjangkau Adra. Sepasang mata itu terus berada di situ hingga Adra terbangun.

Sehelai daun kering yang tertiup angin jatuh tepat di wajah Adra, membangunkannya. Rasa kantuk dan capeknya lumayan terobati. Matahari mulai beranjak turun kala Adra menyadari sesuatu yang berkilauan memantulkan cahaya sore. Cermiiiinnnnn!!!

"Yaaiiyy!!" Adra bersorak gembira, berjingkrak-jingkrak, menari-nari di depan cermin itu. Senang bukan kepalang ketika ia mendapati dirinya di dalam cermin tak lagi gendut seperti dulu. Adra mengerjap-kerjapkan matanya, memandangi dirinya yang baru. Agak asing ia melihat dirinya pada tubuhnya yang baru, tubuh yang tak lagi gendut. Adra sangat bahagia.

"Aku berhasil! Biarpun tidak semungil Seleen, tapi badanku tak lagi gendut seperti dulu. Sekarang langsing. Asssiiikk... Asik.." Setengah menari, Adra berlari pulang dengan hati yang melayang senang.

***

"Wah berarti Adra termasuk anak yang gesit, teliti, sabar juga cekatan ya, buktinya Adra bisa menemukan cermin itu. Selamat ya anak Mama. Adra memang hebat!" Mama memberi Adra pujian. Adra tersenyum-senyum sambil membolak-balikkan badannya yang kini sudah langsing di depan cermin yang dulu pernah ditutup Mama dengan kain warna gelap.

Sepasang mata itu juga turut tersenyum bangga dan bahagia melihat anaknya tak lagi murung dan mulai percaya diri lagi. Ia beranjak keluar kamar tatkala mendengar pintu depan diketuk.

Tok..tok.. Adraaaa...
Mama membuka pintu, tampak tiga makhluk mungil di sana, Barra, Seleen, dan Mikeu dengan mata yang berbinar datang berkunjung karena mendapat kabar kalau Adra sudah menemukan cermin itu. Mama mencium pipi mereka satu persatu lalu meninggalkan mereka ke dapur.

"Lihat! Aku sudah gak gendut lagi kaann??" Kata Adra bangga.
"Iya, kemarin-kemarin juga kamu udah kelihatan beda kok Dra, kamu gak makan-makan yaaa?" tanya Seleen yang kagum melihat Adra.
"Ah nggak, kan aku udah nemuin cermin ajaib Mama, di bukit itu! Besok kita main-main di rumah pohon yaaaa...!"

"Oh iya, kita bawa sesuatu loh buat merayakan keberhasilan Adra yang udah nemuin cermin itu." Barra mengeluarkan bungkusan dari tas yang sedari tadi ditentengnya.
"Itu ada cheese cake buatan Bunda aku, enak loh!" Seleen menunjuk seloyang besar cheese cake titipan Bundanya untuk Adra.
"Aku juga bawa es krim enak nih, produk baru yang ada di toko nenek aku, di dalam es krimnya ada choco chips sama oreo loh," Mikeu tak mau kalah mengeluarkan beberapa es krim.
"Eh iya, pulang kerja kemarin ayah aku juga bawa ini nih Dra, lolipop pelangi, gede yaaaa... Semua ini hadiah kita buat kamu loh Draaa, dimakan yaaa!!" Kata Barra.

Wuaahhh enaknyaaa. Adra tak lagi bisa menahan air liur melihat banyaknya hadiah yang dibawa teman-teman tercintanya.

Mama keluar dari dapur membawakan ketiga tamu mungilnya segelas minuman hangat dan camilan sehat. Seketika itu juga Mama shock melihat apa yang ada di hadapannya.

"Tidaaakkkkk....!!!"

Mulut Adra sudah belepotan es krim coklat, cheese cake sudah tinggal setengah potong, lolipop ukuran besar juga ada di genggaman tangan kanan Adra.

Adra nyengir, pun ketiga temannya.

Mama terkulai lemas...
Triknya kali ini mengalami kegagalan nampaknya.

Comments

Unknown said…
Make stream of consciousness nih ceritanya :). Tapi kalo buat aku sih, agak sedikit ketebak sih alurnya kak. Trus, bagian yang si Adra ngambek masuk kamar itu sepertinya terlalu common kak.
Dessy Aster said…
Hahaha namanya juga cerita anak2 Jieb, aku target pembacanya sebenernya anak-anak aku pas SD nanti, aku bikin se-simple mungkin. hihi tapi agak kepanjangan sih klo mneurut aku.
Anonymous said…
3 letters for you.. W. O. W hehe.. I always love your stories!
Hello I'm Na said…
Haha. Ka Mujib, mentang2 tadi ngajar 2010 ttg stream consciousness :D
Hemm jadi bisa aku teliti lagi deh ttg stream consciousnessnya bu :)
Oia bu, kata-kata yang terangkai, meski buat anak2, tapi tetep 'kak dessy' yang muncul. Maksudnya, rangkaiannya terasa lembut. alah, lebay. Oia, ini bagus buat story telling orang tua buat anaknya bu. Kalo baca sendiri, masih ada beberapa kata yang mungkin asing buat anak2 SD (SD yang baru masuk kak) hehehe komen aku banyak yaa. hehe keep on going bu!
Anonymous said…
lucu. anak saya suka dengerinnya. terimakasih
MaeAlliswell said…
Sebagai orang yang imut mirip anak SD, menurut saya ceritanya bagus Bu..
Bagusnya ada pesan tersiratnya, kaya cerita - cerita di tes Bahasa Indonesia jaman saya dulu,suruh nyari pesan morilnya hehehe

Jadi bisa sekalian ngajarin anak-anak secara tidak langsung..

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu