Skip to main content

In My Place


In my place...
In my place, were lines that I couldn't change
I was lost, oh yeah...
~Coldplay


Pagi masih basah oleh hujan yang turun sejak semalam, sinar matahari lamat-lamat muncul dari balik dedaunan arbei yang tumbuh subur di halaman rumah, menembus sela-sela gorden di mana aku menanti datangnya harum robusta favoritku datang. 

Dari beranda putih ini dapat kulihat parade kupu-kupu beterbangan mengitar menari-nari di atas bunga-bunga terompet kuning. Pagi yang masih basah ini begitu sempurna, segar, sejauh mata memandang kulihat taman nan elok dengan daun-daun pada pohon yang basah oleh embun dan hujan semalam, burung-burung prenjak tak pernah jenuh bermain-main pada ranting dan dahannya. 

Ah ini dia Melanie, dengan baki ditangannya berisi dua cangkir robusta favorit kami dan sepiring waffle hangat tanpa krim yang akan kami nikmati berdua. 
"Ran masih tidur?"
Melanie mengangguk.
"Biarkan, jangan dibangunkan, kan kita bisa pacaran sebentar kayak dulu...hehehe"
Aku menggoda, Mel hanya tersenyum, disodorkannya cangkir robusta padaku.
Harumnya melekat mengisi atmosfer yang melingkupi kami berdua tanpa ada sedikitpun bau kekhawatiran akan hari esok.
Semua tampak indah.
Kehidupanku, aku, Melanie dan puteri kami semata wayang, semua tampak sempurna.

"Pa, aku ingin sekali menanam bunga chrysant putih di ujung sana, agar taman rumah kita ini kelihatan lebih elegan, gimana?...ehmm lalu-lalu aku juga ingin sepanjang jalan di taman ini ada path-path kecil dari batu yang ceper-ceper itu, batu apa ya Pa namanya? oh iya, rumput-rumput itu juga sudah mesti diganti lho Pa, diganti dengan rumput yang lebih halus lagi, biar aku dan Ran leluasa mainnya, supaya kita bisa guling-gulingan di sana.. dann ehmm aku mau ada ayunan di pohon angsana itu ya Pa, ayunan dari ban saja...yaa Paaa"

"Iyaaaa..."

Mel.. Mel, kalau sudah membicarakan taman kau nampak antusias sekali, seakan ada binar di matamu, binar yang kerlipnya bagai air danau di taman kita itu yang berkilauan diterpa sinar bulan kala malam, berkedap-kedip gemintang. Apapun Mel, apapun akan kuturuti demi binar yang terus terpancar dari bola matamu itu.
Kami pun terdiam, menghirup lagi robusta hangat di cangkir kami masing-masing. Aromanya yang melekat memaksa mata terpejam menghirupnya dan mengguratkan sebaris senyum di bibir kami.

Romantis.

Aku teguk robusta romantis itu. Hitam... Manis yang kepahit-pahitan... dan harumnya yang tajam. Kulirik Melanie, ia menempelkan cangkir hangat itu ke pipinya hingga rona merah terpancar di sana. Aah manis sekali dia.

"Pa, lihat ada pelangi... Tapi kok silau ya Paaa"

Aku membuka mata, menengadahkan muka ke arah langit.

Benar... Silau.

Itu bukan pelangi, tapi bias-bias cahaya yang hadir di pelupuk mata kita karena siraman air yang terkena cahaya matahari. Matahari meninggi, sinarnya yang hangat mulai menyengat. Mungkin sebentar lagi terik. 

Mereka memaksa kami bangun dari tempat ini.
Para petugas Satpol PP itu membangunkanku dengan pentungan dan siraman airnya. Kami diusir lagi, aku bangunkan Mel dan Ran yang masih tertidur pulas, kecapekan karena semalaman kami bergelut lagi, berkejar-kejaran dengan para pria yang disebut pamong praja itu hanya untuk mencari tempat berteduh untuk kami tidur di malam yang basah karena hujan.

Mel dan Ran bangun dengan tergopoh-gopoh, aku rapikan barang berharga kami, juga dengan tergesa-gesa, dua helai kain yang dibundel berisi sedikit pakaian dan beberapa lembar kardus alas tidur tadi.

Sejauh mata memandang, trotoar mulai dipadati pejalan kaki, para pekerja yang berjalan cepat, melawan waktu, menghindari genangan air comberan yang meluap karena hujan semalam tak kunjung henti. Tak jauh dari sana asap-asap mengepul dari mobil-mobil dan bis-bis yang berjalan lambat karena macet. Juga penumpang-penumpang di dalamnya yang tak menyadari bahwa kami ada.

Dan kami harus mencari tempat lain lagi...

Comments

Unknown said…
Wow, great! "Dua rasa" yang berbeda dicampur jadi satu. But, what I wonder is why you picked up the same theme like prev story.
Dessy Aster said…
Aaahh Mujib, thanks for wondering why, jawabannya ya berdasarkan sight sehari-hari aja.
Pulang-pergi kerja di Jakarta banyak lihat hal-hal kontras nan miris yang aku lihat. Kota besar, gedung-gedung tinggi, seakan orang sibuk mengejar itu semua tapi yang berada di pinggiran itu yang seakan invisible atau emang we refuse to see 'em.
Ngelihat mereka, terutama anak2 kecil yg di jalanan, aku teringat Mikeu, ngebayanginnya aja aku perih rasanya nyesek n langsung nangis (cengeng ya) apalagi kalo jadi mereka. Mereka yg bener2 terpinggirkan ya, bukan mereka yg pura-pura susah terus meminta-minta.
Jadi tulisan ini cuma ekspresi ke-wonder-an aku akan kehidupan mereka, yg sebenernya aku gak tau apa yg mereka rasa. Cuma mau ngangkat aja n mengingat kan kalo kita itu sebenernya jauh lebih beruntung.
two thumbs up mom... imajinasi aq udah menari-nari sampe paragraf 12, membayangkan betapa damainya tinggal di tempat itu ngga taunya..... di paragraf selanjutnya langsung bikin miris dan tercengang... kelu... pahit...
two thumbs up mom... imajinasi aq udah menari-nari sampe paragraf 12, membayangkan betapa damainya tinggal di tempat itu ngga taunya..... di paragraf selanjutnya langsung bikin miris dan tercengang... kelu... pahit...
two thumbs up mom... imajinasi aq udah menari-nari sampe paragraf 12, membayangkan betapa damainya tinggal di tempat itu ngga taunya..... di paragraf selanjutnya langsung bikin miris dan tercengang... kelu... pahit...
two thumbs up mom... imajinasi aq udah menari-nari sampe paragraf 12, membayangkan betapa damainya tinggal di tempat itu ngga taunya..... di paragraf selanjutnya langsung bikin miris dan tercengang... kelu... pahit...

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu