Skip to main content

Tika juga Ingin Jadi Puteri Indonesia




Hari ini sudah cukup.
Betapa bahagianya aku.
Bukan. Aku bahagia bukan karena botol-botol aqua plastik dan kardus-kardus bekas memenuhi gerobakku. Bukan pula karena ada relawan yang bagi-bagi sembako yang bisa kubawa pulang untuk istri dan anakku, Tika. 

Ya, Tika....
Aku bahagia karena sedari tadi aku membayangkan Tika. Bagaimana reaksinya nanti, cerianya, bahagianya ia menyambutku datang dengan sehelai gaun bagus yang kubawa, gaun yang katanya biasa dikenakan Puteri-puteri dari negeri dongeng. Putriku semata wayang itu pasti akan senang bukan kepalang.
Mimpi apa aku semalam, di siang bolong yang begitu terik tadi, ketika ku tengah mengais-ngais tempat sampah sebuah rumah yang besar, sang empunya rumah keluar menghampiri. 
"Bapak punya anak perempuan?" tanyanya.
"Iya Bu, ada," Jawabku seraya berhenti mengais-ais bak sampahnya.
"Berapa umurnya?" 
"Seharusnya dia udah sekolah Bu, temen-temen seumur dia udah kelas 1 SD Bu," jawabku sambil menundukkan kepala, kikuk dan malu.

Seharusnya..... 
Seharusnya ia sudah sekolah seperti teman-temannya yang lain. Seperti Fatih juga Irma. Tapi Tika tidak, sungguh aku merasa amat berdosa padanya, karena tak jua menyekolahkannya. Jangankan untuk sekolah, sehari-hari penghasilanku hanya cukup untuk makan kami sekali sehari dan membeli obat-obatan warung untuk istriku yang kini masih terbaring sakit, ada flek pada paru-parunya, begitu yang kudengar dari mantri puskesmas tempo hari.

"Wah, kebetulan. Tunggu sebentar ya Pak!"
Si empunya rumah besar itu memasuki rumahnya dengan tergesa-gesa, lalu keluar dengan sehelai gaun di tangannya, gaun yang kini ada di tanganku untuk Tika. 
"Gaun ini baru Saya beli untuk anak perempuan Saya, tapi dia gak suka, modelnya sudah out of date katanya. Jadi buat anak Bapak saja."
Begitu kata si Ibu pemilik rumah besar yang tiap hari tempat sampahnya kuais. Aku tidak pernah mengerti apa itu out of date, gaun berwarna pink ini masih sangat bagus dan tampak mahal yang mungkin tak akan pernah terbeli oleh orang sepertiku.
Makanya, aku harus cepat pulang, meski gerobak tak terisi penuh, meski belum ada uang untuk makan hari ini, aku ingin segera melihat Tika tersenyum.
Senyum Tika, kebahagiaan terbesarku.

"Bapak... Kok pulang cepet, katanya mau cari uang banyak buat beli obat Ibu?" Tika menyambutku, clingak-clinguk ia melihat gerobakku yg belum setengahnya terisi.
"Iya, Bapak pulang cepet soalnya Bapak punya oleh-oleh buat kamu, nih buka, kamu pasti suka," 
Tangan-tangan mungil Tika meraih bungkusan plastik hitam yang kubawa, dibukanya bungkusan itu.
Mata Tika berbinar terang melihat gaun nan bagus itu, sementara mataku berbinar oleh kebahagiaan dan senyum Tika.
"Makasih Pak, bagus banget. Mahal ya Pak? Beli di mana?"
"Bapak dikasih dari orang baik, sudah sana dicobain!"
Kami berdua berhambur masuk ke dalam rumah triplek kami. Sanih, istriku, bangun dari pembaringannya.
"Bapak kok pulang cepet?"
"Iya, Bu. Bapak mau kasih oleh-oleh buat Tika, pemberian dari orang kaya di komplek sana. Nanti Bapak balik nyari lagi kok Bu,"
Sekejap saja, Tika sudah mengenakan gaun bagus itu, bahannya melekat pas di tubuh Tika.

Tika berputar-putar bahagia, menunjukan pada kedua orang tuanya. Berputar-putar, berjalan ke sana ke sini bagai peragawati, entah dari mana ia menirunya.

"Pak, Bu, Tika cantik ya?" Katanya sambil melihat bayangan wajahnya di cermin.
"Iya, kamu cantik Nak," jawabku. Kulirik istriku menitikkan air mata mendengar jawabanku.

"Pak, Tika juga ingin jadi Puteri Indonesia seperti yang Tika lihat di TV-nya Fatih kemarin. Mereka juga pake baju seperti ini loh Pak," ujar Tika, dilihatnya lagi dirinya di cermin. Tersenyum-senyum.

"Iya, Nak."

"Tapi, Puteri Indonesia bibirnya gak boleh sumbing ya, Pak?"

Nada bicaranya berubah sedih.
Aku tertunduk, terpaku pilu mendengar ucapannya barusan.

Tunggu Nak, tunggu Bapak punya uang banyak untuk operasi bibirmu dan berobat ibumu. Tunggu...

"Bapak berangkat lagi ya mumpung masih siang."
Aku beranjak, mendorong gerobak, mengais sampah-sampah daur ulang, mencari uang yang banyak. Untuk menepati janjiku pada Tika.

Tunggu, Nak... 

Comments

Unknown said…
Aku gak bisa komen apa-apa.
UKI said…
Tidak selamanya nothing-is-impossible berlaku, terkadang something impossible, ya memang impossible. Hahaha, Ibu ini stream-nya realis banget. XD

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu