Skip to main content

Pohon Mangga

Fellaaa, keadaan telah berubah drastis buat saya, saya tidak lagi sensitive, saya tidak lagi peka, bahkan saya tidak mengenal lagi siapa saya?? Am I getting old? Am I getting human???

Rasanya ingin sekali menulis seperti dahulu, membuat cerpen, esai, berkelakar pendek lewat tulisan, atau sekedar menuangkan unek-unek lewat blog. Tapi kemampuan menulis saya sangat payah saat ini, tak seperti dulu lagi (meskipun dulu juga gak hebat-hebat amat). Lol.

Kenapa ya?

Inspirasi... Dimanakah kau bersemayam?


Dulu, ketika saya sedang buntu, mumet, saya selalu mendapatkan inspirasi ditempat itu.
Tempat yang selalu dapat mendamaikan hati saya ketika ia galau, dan yang selalu saya ajak bercerita tentang hidup saya, tentang rahasia terpendam saya, tentang pria yang saya suka, tentang kelicikan-kelickan saya, hingga tentang kerinduan saya pada ketenangan.

Tempat itu, dibawah pohon mangga, di samping gedung H Unisma Bekasi (kampus tempat saya kuliah).
Pada pagi hari, pukul enam lewat limabelas menit saya sudah berada di sana (tanya saja Sarip, kang mas OB yang selalu memergoki saya terduduk sendiri dibawah pohon mangga sambil memegang secarik kertas dan pensil). Saya suka suasana pagi di tempat itu, ketika saya masih sendiri, belum ada satupun dosen ataupun teman-teman mahasiswa yang datang. Saya suka pagi di bawah pohon mangga dan sendiri.

Tahukah kalian kenapa?
Karena saya suka bercengkrama dengannya, dengan pohon itu, bagi saya dia hidup, dan diapun seperti bercerita pada saya. Bahkan "Sel Abu-abu" ini pun saya dapat darinya. Ada banyak cerpen yang saya buat hanya dalam satu atau dua jam pada pagi-pagi saya bersama si pohon, atau dia dengan senangnya menemani saya yang kala itu tergesa-gesa membaca serangkaian buku teori sastra yang harus saya presentasikan. Hmmm....

Tapi hanya pagi hari dia milik saya sepenuhnya. Ketika siang menjelang, banyak mahasiswa (teman-teman saya) dan dosen bercengkrama di sana. Saya hanya bisa memandangnya lirih dari jauh dan enggan mendekat. Dan keesokan paginya ketika saya berada sendiri disana seperti biasanya, saya biarkan ia bercerita kepada saya tentang apa yang terjadi kemarin, tentang apa yang orang-orang bicarakan di bawahnya. Setelah itu saya bilang padanya saya cemburu, karena jika siang hari dia milik bersama, diapun hanya tertawa melihat saya bersungut dengan menjatuhkan dedaunnya yang telah menguning.

Kini saya telah lulus kuliah, dia bukan lagi milik saya, andai dia tahu, saya merindukannya. SANGAT. Entah sudah berapa cerpen saya buat untuk mendedikasikannya. Salah satunya berjudul "I Witness" yang saya gunakan sebagai tugas mata kuliah Creative Writing, ataupun "Suatu Pagi". Tapi semua itu tak cukup untuk mengungkapkan rasa terimakasih saya padanya, yang sudah dengan berbaik hati menaungi dan menginspirasi saya.

Saya sangat merindukannya, dan teman-temannya yang lain: Asap pembakaran sampah, suara burung juga suara deru mobil di jalan tol, kepompong ulat bulu di daun-daunnya dan juga rasa yang nyaman.

Tolong sampaikan rindu saya padanya.

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu