Sedari tadi aku asyik memperhatikannya. Dia yang sering sekali mampir kesini seorang diri pada pagi yang masih bening, mengenakan kerudung pink yang mungkin merupakan warna favoritnya. Duduk terdiam, kadang tersenyum kecil memandangku, kadang mengerutkan dahi seperti sedang berpikir, kadang bergumam sendiri seolah sedang bercerita padaku dan sering sekali menulis dihadapanku.
Sebuah buku tulis kecil ditangan kirinya dan sebatang pulpen berwarna jingga ditangan satunya, bahkan aku bisa sangat hafal gaya duduknya yang dengan santai menopangkan kaki kanan di atas kaki kirinya sehingga tercipta sebuah sudut tempat buku kecil itu bersandar ketika ia mengayunkan pulpen jingga di atasnya.
Lagi-lagi ia memandangku dengan penuh senyum lalu mencoret sesuatu pada buku kecil itu. Lagi-lagi melirik kearahku, berkali-kali pula ku perhatikan ia menghitung jumlah daunku yang ditempeli oleh kepompong ulat bulu, matanya yang menerawang berkejap-kejap saat membedakan benalu yang melekat kuat pada batang dan rantingku.
Aku bisa merasakannya, bahwa ia menyukaiku. Aku bisa merasakannya bahwa ia sedang bahagia. Aku bisa merasakan bahwa ia senang sekali berada sendiri disini. Aku bisa merasakannya bahwa ia sedang menulis tentangku. Aku bisa merasakannya, bahwa ia juga merasakanku, aku bisa merasakannya dari sinar matanya dan semburat senyum pasrahnya. Aku bisa merasakannya... bahwa aku... bahwa dia... dan sekelilingku...
Persetan Aristoteles! Yang mengatakan bahwa tanaman memang mempunyai jiwa tapi tidak punya perasaan. Bahwa tanaman hanya mempunyai keinginan untuk tumbuh, meninggi berbuah dan menyebar. Aku dan jutaan species lain yang berasal dari kerajaan plantea, punya PERASAAN!!!
Aku memang cuma...
Aku memang cuma sebatang pohon mangga yang kebetulan tumbuh di halaman samping sebuah gedung yang mereka beri judul kampus. Aku, yang kadang mereka juluki Mangifera Indica juga punya perasaan. Orang lain mungkin merasa kalau aku cuma sebuah objek. Benda yang statis, tak dapat kemana- mana. Padahal aku hidup, sensitif, dan mempunyai keterikatan emosional terhadap ruang. Justru aku, dan kerabatku dari kerajaan Plantea (satu lagi alasanku membenci Aristoteles karena ia mengolong-golongkan makhluk seperti aku yang dimasukkan dalam kelas yang berbeda dengan manusia), kami sebenarnya adalah perangkat yang teramat sensitif yang bisa mengukur emosi manusia.
Seperti manusia satu ini yang saat ini masih belum beranjak dari hadapanku dengan buku kecil dan pulpen jingga di tangannya. Aku bisa tahu dari raut wajahnya, emosi terpendamnya saat ini,
bahwa ia... ... ...
"My mind said that there's nothing wrong with being 'unnatural'. We're just willing to reach out beyond the boundaries of 'common senses', so the world will not forever operate on the same note as it has always been doing since God created all of the creatures including humans and of course, TREES" (anonymous)
Sebuah buku tulis kecil ditangan kirinya dan sebatang pulpen berwarna jingga ditangan satunya, bahkan aku bisa sangat hafal gaya duduknya yang dengan santai menopangkan kaki kanan di atas kaki kirinya sehingga tercipta sebuah sudut tempat buku kecil itu bersandar ketika ia mengayunkan pulpen jingga di atasnya.
Lagi-lagi ia memandangku dengan penuh senyum lalu mencoret sesuatu pada buku kecil itu. Lagi-lagi melirik kearahku, berkali-kali pula ku perhatikan ia menghitung jumlah daunku yang ditempeli oleh kepompong ulat bulu, matanya yang menerawang berkejap-kejap saat membedakan benalu yang melekat kuat pada batang dan rantingku.
Aku bisa merasakannya, bahwa ia menyukaiku. Aku bisa merasakannya bahwa ia sedang bahagia. Aku bisa merasakan bahwa ia senang sekali berada sendiri disini. Aku bisa merasakannya bahwa ia sedang menulis tentangku. Aku bisa merasakannya, bahwa ia juga merasakanku, aku bisa merasakannya dari sinar matanya dan semburat senyum pasrahnya. Aku bisa merasakannya... bahwa aku... bahwa dia... dan sekelilingku...
Persetan Aristoteles! Yang mengatakan bahwa tanaman memang mempunyai jiwa tapi tidak punya perasaan. Bahwa tanaman hanya mempunyai keinginan untuk tumbuh, meninggi berbuah dan menyebar. Aku dan jutaan species lain yang berasal dari kerajaan plantea, punya PERASAAN!!!
Aku memang cuma...
Aku memang cuma sebatang pohon mangga yang kebetulan tumbuh di halaman samping sebuah gedung yang mereka beri judul kampus. Aku, yang kadang mereka juluki Mangifera Indica juga punya perasaan. Orang lain mungkin merasa kalau aku cuma sebuah objek. Benda yang statis, tak dapat kemana- mana. Padahal aku hidup, sensitif, dan mempunyai keterikatan emosional terhadap ruang. Justru aku, dan kerabatku dari kerajaan Plantea (satu lagi alasanku membenci Aristoteles karena ia mengolong-golongkan makhluk seperti aku yang dimasukkan dalam kelas yang berbeda dengan manusia), kami sebenarnya adalah perangkat yang teramat sensitif yang bisa mengukur emosi manusia.
Seperti manusia satu ini yang saat ini masih belum beranjak dari hadapanku dengan buku kecil dan pulpen jingga di tangannya. Aku bisa tahu dari raut wajahnya, emosi terpendamnya saat ini,
bahwa ia... ... ...
"My mind said that there's nothing wrong with being 'unnatural'. We're just willing to reach out beyond the boundaries of 'common senses', so the world will not forever operate on the same note as it has always been doing since God created all of the creatures including humans and of course, TREES" (anonymous)
Comments