Than there to look upon the daisy,That for good reason men do nameThe ‘day’s-eye’ or else the ‘eye of day,’The Empress, and flower of flowers all.I pray to God good may her befall. ~Chaucer
Adalah bunga liar nan tumbuh bergerombol, kecil-kecil dengan warna putih dan nektarnya yang kuning, semarak menghiasi taman dengan kemilau yang mengharmonisasi hijau daun dan alang-alang. Ia selalu ingin bisa seperti mereka yang indah dan anggun menghiasi taman. Ia kemudian hanya bisa tersenyum simpul, tangkai dan kelopaknya berdansa kian kemari tatkala angin semilir meniup kehidupannya yang nyaris sempurna.
Chaucer berfilosofi, daisy adalah "the day's eye" matanya hari, matahari. Ia mencuri bentuk Matahari. Bentuknya menyerupai mata sang hari, yang begitu indah menerangi. Tapi di sudut taman ini, ada setangkai Daisy yang merasa kelabu, harapannya kosong. Daisy yang tidak pernah bisa percaya diri, Daisy yang tidak pernah bisa melihat bahwa dirinya sama indahnya dengan bunga lain di Taman ini.
Tersebutlah sang Kumbang, serangga nan kuat, setia mengitar berterbangan di sekeliling bunga Daisy yang tampak murung ini. Sekian lama ia menjaga sang Daisy dengan kitaran sayap kecilnya yang tangguh. Tak pupus ia mengawasi sang bunga agar tumbuh mekar sempurna untuk menjadi pijakannya kelak.
Pada Taman sang Kumbang bercerita, aku memilih Daisy karena bagiku ia begitu sederhana, karena ia adalah daisy, karena ia satu-satunya harapanku, pada kelopaknya yang putih dan madunya yang begitu manis.
Daisy yang belum mekar dengan sempurna bertanya kepada Taman, kenapa aku, haruskah aku? Wahai Taman, beritahu ia bahwa ia telah buta. Mata hatinya tertutupi harapan dan cita-cita kosong. Aku hanyalah imaji, sungguh fana dan hanya fatamorgana, yang semakin lama akan semakin memudar mewujudkan siluet yang entah akan berwarna seperti apa, mungkin abu-abu ataupun kusam yang jelas tidaklah seindah dan semanis yang ia perkirakan jika ia terus mengharapkan dan menyandarkan dirinya padaku.
Daisy terkulai lemah. Kumbang masih saja mengitar, berotasi di sekeliling kelopak Daisy. Tak pernah Kumbang lelah mengumpulkan setiap tetes demi tetes embun pagi dari tiap penjuru taman semata agar sang Daisy tumbuh bermekaran kelak. Ia percaya suatu saat Daisy-nya ini akan berkembang dengan asri, indah mempesona dan hanya ia yang memiliki.
Wahai perdu dan alang-alang, beritahu Kumbang bahwa ia begitu buta. Dibutakan oleh angannya akan putihnya kelopakku dan manisnya maduku, sehingga ia tak mampu lagi melihat bahwa Taman begitu luas. Tidakkah ia mengenal Mawar yang begitu elegan dan mempesona dengan warna-warna tajamnya yang sungguh anggun mengindah dan harumnya yang semerbak. Tidak pula kah ia melihat Melati, ia begitu putih dan suci tak terjamah, atau Anyelir yang mahkotanya berundak-undak bagai gaun ratu-ratu jaman Victoria, atau si Cantik yang menenangkan, Lily, Cempaka, asoka, Krisan, Tulip maupun Kamboja. Mereka begitu cantik rupawan, berwarna-warni indah meramaikan taman seperti lingkar pelangi yang muncul setelah badai.
Daisy menangis.
Kumbang tertegun, perdu dan alang-alang sunyi mendengar keluh sang Daisy. Kumbang telah merelakan hatinya buta. Ia sampaikan kepada Taman, aku memilihnya karena ia bukan Anyelir, bukan pula Mawar, bukan Cempaka, bukan Krisan, Asoka, atau Melati. Dia hanya Daisy. Sederhana. Itu saja. Karena ia memikatku.
Daisy hanya bisa terpaku. Ia tahu kebutaan sang Kumbang akan menuntunnya pada cinta yang cacat. Daisy menatap langit. Biru bukanlah warna favoritnya. Tapi pada biru di atas sana ia melihat sesuatu yang tampak begitu damai dan cemerlang. Ia ingin terbang menuju keluasan biru yang menghampar di atas sana. Ia ingin menjulang mencapai langit. Kemudian ia tersentak, ia hanyalah ilalang.
Pada biru yang maha luas itu ia tiba-tiba terpana, ada sesuatu yang amat besar menyilaukan. Ia tak pernah sadar sang Matahari telah lama memperhatikannya. Daisy semakin takjub ketika Matahari menatapnya, saat dirinya mengagumi langit pertanda kebebasan dan tempaan teriak.
Matahari membakarnya. Sinarnya begitu menyilaukan. Daisy tak mampu berbuat apa-apa. Matahari begitu besarnya. Pusat dari segala tata surya, tempat semua makhluk menggantungkan keberlangsungan hidupnya. Matahari terus membakarnya, meluluhkannya.
Keduanya berhadapan, bertatapan. Daisy kau telah mecuri sinarku, kau adalah bentuk lain diriku, tolong mendekatlah. Daisy terperanjat oleh pesona Matahari. Ia pun terbakar sempurna, layu, terkulai merunduk, merajut daya menjemput ajakan sang Surya. Tak dapat ia menafikan pesona Matahari. Tempat ia merelakan segala dari dirinya melebur.
Daisy kian melemah dan terkulai rapuh karena ia dan Matahari tak sedikit pun berkedip bertatapan. Ia pun mati, layu. Rohnya melayang, terbang bebas menuju pelukan Matahari dan langit yang terhampar untuk segala teriakkannya. Damai kini ia rasakan. Inikah rasanya bebas? tak pernah ia merasa sebahagia ini, tak pernah ia merasa selega ini. Ia terbang, ia tersenyum, ia bahagia. Ia terbang makin tingsi dan tinggi.
Namun, sontak ia menoleh ke bawah...
Sang Kumbang meratapi kepergian bunganya. Ia menanarkan pandangannya pada tangkai bunga Daisy yang kini telah layu dan kering patah ke tanah, menyisakan sedikit harum ynag akan terus dikenangnya dalam sensor antena memorynya. Ia mengitar-kitarkan sayapnya, berharap hujan turun dan menghidupkan kembali bunganya. Kumbang masih saja setia menunggu keajaiban itu tiba.
Roh sang Daisy pedih melihatnya. hatinya sama sakitnya. Tapi apalah mau dikata. Takdirnya bukan untuk sang Kumbang. Ia yang kini hanya tinggal roh yang berterbangan bebas menuju pelukan Matahari berjanji untuk tidak lagi menatap bumi di mana sang Kumbang masih menunggu datang keajaiban.
Kumbang takpernah tahu, bahwa Daisy, pada rohnya yang terus terbang tak akan mau kembali....
Des, 23 February 2009
Harap tunggu kelanjutan dongeng ini ya :)
(gambar dari beberapa sumber di Google)
Comments