Skip to main content

#Day 27: Hikayat Sepotong Kayu

Golongan putih.
Dosakah saya jika saya termasuk ke dalam golongan putih, alias golput, abstain, tidak memilih? 
Jika iya, biarlah saya berdosa karena telah membuang sia-sia hak saya sebagai seorang pemilih. Tapi bukankah kita hidup di negara yang katanya menjunjung demokrasi?? Kalo iya (lagi) berarti memilih atau tidak memilih adalah privilege saya juga bukan?

Oke, banyak yang bilang kalau golput itu haram, dianggap tidak bertanggung jawab, tidak mengerti hak dan kewajiban sebagai warga negara. Bagi saya pandangan seperti itu justru punya kepentingan terselubung (mau benar atau tidak), setidaknya untuk menekan jumlah suara untuk what-so-called kandidat yang menjadi sponsor omdo-nya. Jika memang benar-benar ada orang yang dipercaya untuk bisa memimpin atau "duduk disinggasana kekuasaan" dengan benar-benar arif dan sudah terbukti, mungkin saya tidak akan golput.

Well, tulisan ini sebenarnya bukan untuk mempengaruhi anda untuk golput seperti saya, hanya saja janganlah terlalu fanatik dan buta memilih atau membela "pilihan" yang pada akhirnya hanya memanfaatkan suara-suara nan innocent dari rakyat. Bagi saya pula, golput juga perlu diperjuangkan sebagai salah satu sikap yyang sah dalam demokrasi. Halah! *blog gue bakal dicekal gak ya hehehe*

Intinya saya tidak suka berpolitik. Saya lebih suka menulis meski sulit, nah untuk menyambut pemilihan gubernur Jakarta atau walikota Bekasi yang reklame, spanduk, billboard dan embel-embelnya merusak pemandangan kota yang kadang membuat saya muak dengan iklan-iklan penuh janji mereka, berikut saya persembahkan sebuah cerpen.

Cerpen lama sih, ditulis sekitar tahun 2009 (menjelang pemilu), semoga gak basi ya!
Selamat membaca.

HIkayat Sepotong Kayu

Para tukang kayu itu mengelap peluh dengan tangan mereka yang kapalan. Matahari telah meninggi, saatnya mereka beranjak ke warteg sebelah untuk mengisi perut yang telah lapar. Ditinggalkan kayu-kayu yang sedari tadi mereka gergaji, serut, ampelas, dan mereka pelitur, ada kayu kamper, meranti merah, mahoni, jati, ataupun kayu merbau. Bengkel kayu furniture itu pun mendadak sepi dari suara mesin pemotong, hanya angin yang meniupkan serbuk-serbuk kayu sisa serutan ke setiap sudut bengkel.

“Mengapa kau sedari tadi bersedih?” Tanya sepotong Meranti Merah pada sebatang kayu Jati yang belum selesai diampelas.
“Apa kau tidak mendengar berita akhir-akhir ini? Itulah yang membuatku bersedih.” Kata Jati sambil terisak.
“Apa? Berita apa?” serentak kayu-kayu lainnya bertanya penasaran apa yang dimaksud oleh Jati.
Jati tambah bersedu-sedan sambil membayangkan hendak menjadi apa dia dan kawan-kawannya kelak. Semua kayu-kayu di bengkel ini sudah sangat terkenal kualitasnya. Nomor satu di antara bengkel-bengkel furniture lainnya yang ada di kota ini. Dan bengkel inipun terkenal sebagai satu-satunya pemasok kursi-kursi terbaik nan kuat dan indah di seantero kota. Jati dan kayu-kayu lainnya pun sadar hendak menjadi apa mereka kelak.
Kursi.
Mereka semua akan menjadi kursi.
“Kemarin aku melihat berita di televisi itu.  Seorang walikota yang baru saja dilantik tewas terbunuh. Ia dan supirnya ditemukan tewas dengan kepala tertembus peluru. Mengerikan bukan?” Jati mulai menceritakan kegundahannya.
“Lalu kenapa kamu yang bersedih?”Tanya Merbau asal Kalimantan itu.
“Aku yakin kalian tidak suka mendengar alasan mengapa mereka tewas mengenaskan seperti itu kan? Ini karena teman-teman kita terdahulu, dan bisa jadi kitapun akan mengakibatkan banyak kematian pula nantinya.” Jati kecewa.
“Apa yang sebenarnya kau bicarakan Jati??” Tanya Mahoni dengan agak marah.
Jati pun mulai bercerita.
Ini semua karena kursi.
Kabarnya walikota yang dibunuh secara mengenaskan itu tidak pantas menduduki kursi jabatannya sebagai walikota. Ia telah bermain curang dan memanipulasi jumlah suara dalam pemilihan beberapa bulan lalu. Sementara sang pembunuh adalah orang bayaran yang disuruh oleh lawan sang walikota yang kalah dalam pemilihan. Sang lawan kecewa bukan kepalang karena ia gagal menduduki kursi itu hingga membunuh adalah cara yang wajar menurutnya demi sebuah dendam dan sekarang ia diancam hukuman mati. Semua mereka lakukan karena sebuah kursi bukan?
Kayu-kayu calon kursi seperti kita ini bisa membawa keburukan bagi orang-orang, pernahkah kalian membayangkan itu?
Jati masih melanjutkan ceritanya.
Apakah kalian tahu juga, Pak Mayan, si tukang kayu itu pernah bercerita kepada teman-temannya. Ia menyaksikan bagaimana sebuah gedung mewah hangus terbakar karena warga marah besar. Dalam gedung itu banyak korban berjatuhan, orang-orang bertubuh buncit yang kerap mengenakan jas dan dasi tewas terpanggang di dalamnya. Warga merasa orang-orang yang berada di dalam gedung mewah itu tak menepati janjinya. Mereka berbondong-bondong membakar gedung itu dengan kemarahan yang tak lagi dapat kalian bayangkan. Warga merasa tertipu oleh janji-janji mereka kala memperebutkan sebuah kursi, hanya demi kursi dan karena kursi yang menjadi sumber malapetaka itu.
Sesungguhnya aku tak ingin menjadi kursi. Kursi itu menjadi benda terkutuk.
Pak Mayan juga pernah bercerita bahwa ada seorang pengusaha kaya raya, yang menjadi sinting gara-gara sebuah kursi. Dulu pengusaha itu sangat kaya, orang paling kaya di kota ini, perusahaannya tersebar di banyak propinsi, rumahnya juga hampir ada di setiap kota, mobil-mobil berjejer di garasinya. Namun ia mengorbankan semuanya, ia gadaikan, bahkan ia jual hanya untuk modal kampanye dan memuluskan jalannya mendapatkan sebuah kursi.
Lalu akhirnya apa? Ia gagal mendapatkan kursi terkutuk itu, ia jatuh miskin, ia menjadi gila, dibunuhnya istri dan anak-anaknya karena tak mampu lagi menghidupi mereka. Ia gila, dan ia pun menenggak racun untuk mengakhiri nyawanya.
Pernah juga ada sebuah cerita tentang seorang wanita muda nan cantik yang gantung diri. Ia menggantung dirinya dan tewas beberapa menit kemudian setelah kursi yang menjadi pijakannya untuk gantung diri ia robohkan. Ia mati dengan lidah terjulur di atas sebuah kursi. Sungguh ia menjadi tak cantik lagi. Ia ditinggalkan kekasihnya. Kekasihnya memilih menikah dengan wanita lain anak seorang terpandang yang mampu menjanjikannya sebuah kursi teratas dalam sebuah departemen pemerintahan. Lagi-lagi karena kursi. Kursi terkutuk yang banyak memakan korban.
Dan entah berapa banyak lagi orang-orang mati karena kursi. Kita-kita ini adalah kursi-kursi selanjutnya. Kita adalah calon kursi yang juga akan menyebabkan korban-korban mati dengan konyol. Kita adalah sumber malapetaka itu.
Pernahkah kalian membayangkan itu, betapa kita nantinya menjadi benda paling terkutuk yang membuat orang menjadi gila, frustrasi, putus asa, dan mati.
Jati masih tersedu. Meranti, Mahoni, Merbau, Kamper, dan yang lainnya terdiam.
Mungki Jati benar.
Brengsek sekali nasib yang membawa para kayu-kayu unggulan itu menjadi akar masalah kota ini yang orang-orangnya semakin serakah dan gila karena kursi.
Pak Mayan dan kawan-kawannya para tukang kayu kembali dari warteg sebelah, perut mereka kenyang, tenagapun terisi kembali. Para kayu kembali terdiam, mesin pemotong mulai dinyalakan lagi. Bising pun kembali terdengar dari bengkel penuh serbuk kayu dan bau cat pelitur itu.
Pak Baba, pemilik bengkel itu tetiba datang. Dari raut mukanya terlihat ia lesu. Pria yang terkenal ramah dan juga baik hati ini datang seperti biasa untuk mengawasi para pekerjanya sekali sehari. Namun kali ini jelas nampak berbeda. Ia meminta para pekerja untuk sejenak berhenti bekerja dan mematikan mesin pemotong kayu yang sudah mulai bising itu.
Ia bermandat pada seluruh pekerjanya.
“Saya prihatin dengan kondisi kota kita sekarang ini, saya dengar pesanan kursi bulan ini sedang melonjak tinggi, seharusnya saya bahagia akan hal itu, usaha saya menjadi sangat menguntungkan. Namun entah mengapa ada perasaan bersalah di hati saya karena memproduksi kursi-kursi yang diperebutkan itu. Banyak orang mati hanya karena sebuh kursi. Oleh karenanya saya ingin memberitahu kalian bahwa dengan sangat menyesal saya ingin menghentikan usaha pembuatan kursi ini.” Pak Baba berbicara dengan wajah tertunduk.
Pak Mayan dan beberapa orang lainnya di bengkel itu terkejut. Juga sedih. Jika usaha ini dihentikan bagaimana mereka akan menghasilkan uang untuk makan anak dan istri mereka nanti. Mereka menyimpulkan garis muka yang tak kalah sedihnya. Membayangkan jika harus menganggur dan mencari kerja entah di mana lagi karena satu-satunya keahlian yang mereka miliki hanyalah menjadi tukang kayu.
Bengkel senyap.
Pak Baba masih berdiri di tempat yang sama ketika ia datang. Pak Mayan tampak mengelus-elus kayu meranti merah yang tadi tengah ia kerjakan. Nampaknya ia terlanjur sayang dengan kayu-kayu itu, berat untuk melepaskan pekerjaan ini, jiwanya tertambat pada kayu-kayu yang akan ia ubah menjadi kursi-kursi sumber malapetaka. Tapi biar bagaimanapun ia tak ingin barang yang ia produksi menjadi alasan orang-orang di kota ini untuk saling membunuh. Ia pun merasa bersalah, sama dengan para kayu sahabatnya sejak 20 tahun silam.
“Tapi tak perlulah kalian merasa khawatir. Aku tidak akan benar-benar menutup usaha ini dan memecat kalian. Kalian akan tetap bekerja di sini, bersama kayu-kayu pilihan itu.” Pak Baba memecah keheningan ia sadar para pekerjanya sangat membutuhkan pekerjaan ini.
“Mulai saat ini kita tidak akan lagi memproduksi kursi. Tidak juga kita banting setir. Saya tahu apa yang warga kota ini butuhkan sekarang. Kita akan membuat peti-peti mati dengan kayu-kayu ini. Ya peti mati. Nampaknya akan banyak yang membutuhkanya.”
Pak Baba tersenyum diikuti lenguh Pak Mayan dan teman-temannya.
Lega.

***

Dear @yyunikaa, mohon maaf, ada 2 cerpen aku yang aku publish di sini, akan aku ganti dengan yang baru untuk project kita yang entah kapan, gara2 aku jadi ketunda terus. Bismillah selalu. Semoga terlaksana.

Comments

Hello I'm Na said…
Jati yang innocent :'O *puk puk Jati*
Well, golput kadang berguna untuk menyelamatkan Negaara dari calon pemimpin yang 'membunuh' rakyatnya pelan-pelan, kak. ;'(
Niiiicccceee story!!! :D
I'm_Oz said…
sepertinya cerita ka dessy yang ini temanya mirip sama tulisan lina yang #day 29 hahhaha..... bagus kak ;) semakin pengen terus belajar bikin cerita yang punya something gimanaaaaa gitu hahahah, musti banyak belajarrrrr
Hello I'm Na said…
day 28 kak oz. Aku belum bikin yang 29 =='' weleh dirimu kaaaak... Mimpi opo to yo cah ayu? :D

Popular posts from this blog

#Day 7: Daisy, Kumbang dan Matahari Bercerita pada Taman

Than there to look upon the daisy, That for good reason men do name The ‘day’s-eye’ or else the ‘eye of day,’ The  Empress,  and flower of flowers all. I pray to God good may her befall.   ~Chaucer   Adalah bunga liar nan tumbuh bergerombol, kecil-kecil dengan warna putih dan nektarnya yang kuning, semarak menghiasi taman dengan kemilau yang mengharmonisasi hijau daun dan alang-alang. Ia selalu ingin bisa seperti mereka yang indah dan anggun menghiasi taman. Ia kemudian hanya bisa tersenyum simpul, tangkai dan kelopaknya berdansa kian kemari tatkala angin semilir meniup kehidupannya yang nyaris sempurna. Chaucer berfilosofi, daisy adalah "the day's eye" matanya hari, matahari. Ia mencuri bentuk Matahari. Bentuknya menyerupai mata sang hari, yang begitu indah menerangi. Tapi di sudut taman ini, ada setangkai Daisy yang merasa kelabu, harapannya kosong. Daisy yang tidak pernah bisa percaya diri, Daisy yang tidak pernah bisa melihat bahwa dirinya sa...

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha...