Golongan putih.
Dosakah saya jika saya termasuk ke dalam golongan putih, alias golput, abstain, tidak memilih?
Jika iya, biarlah saya berdosa karena telah membuang sia-sia hak saya sebagai seorang pemilih. Tapi bukankah kita hidup di negara yang katanya menjunjung demokrasi?? Kalo iya (lagi) berarti memilih atau tidak memilih adalah privilege saya juga bukan?
Oke, banyak yang bilang kalau golput itu haram, dianggap tidak bertanggung jawab, tidak mengerti hak dan kewajiban sebagai warga negara. Bagi saya pandangan seperti itu justru punya kepentingan terselubung (mau benar atau tidak), setidaknya untuk menekan jumlah suara untuk what-so-called kandidat yang menjadi sponsor omdo-nya. Jika memang benar-benar ada orang yang dipercaya untuk bisa memimpin atau "duduk disinggasana kekuasaan" dengan benar-benar arif dan sudah terbukti, mungkin saya tidak akan golput.
Well, tulisan ini sebenarnya bukan untuk mempengaruhi anda untuk golput seperti saya, hanya saja janganlah terlalu fanatik dan buta memilih atau membela "pilihan" yang pada akhirnya hanya memanfaatkan suara-suara nan innocent dari rakyat. Bagi saya pula, golput juga perlu diperjuangkan sebagai salah satu sikap yyang sah dalam demokrasi. Halah! *blog gue bakal dicekal gak ya hehehe*
Intinya saya tidak suka berpolitik. Saya lebih suka menulis meski sulit, nah untuk menyambut pemilihan gubernur Jakarta atau walikota Bekasi yang reklame, spanduk, billboard dan embel-embelnya merusak pemandangan kota yang kadang membuat saya muak dengan iklan-iklan penuh janji mereka, berikut saya persembahkan sebuah cerpen.
Cerpen lama sih, ditulis sekitar tahun 2009 (menjelang pemilu), semoga gak basi ya!
Selamat membaca.
HIkayat Sepotong Kayu
Para tukang kayu itu mengelap peluh dengan
tangan mereka yang kapalan. Matahari telah meninggi, saatnya mereka beranjak ke warteg sebelah untuk mengisi
perut yang telah lapar. Ditinggalkan kayu-kayu yang sedari tadi mereka gergaji, serut, ampelas, dan mereka pelitur, ada kayu kamper, meranti merah, mahoni, jati, ataupun kayu merbau. Bengkel kayu furniture itu
pun mendadak sepi dari
suara mesin pemotong, hanya angin yang meniupkan serbuk-serbuk kayu sisa
serutan ke setiap sudut bengkel.
“Mengapa
kau sedari tadi bersedih?” Tanya sepotong Meranti Merah pada sebatang kayu Jati yang belum
selesai diampelas.
“Apa kau tidak mendengar berita
akhir-akhir ini? Itulah yang membuatku bersedih.” Kata Jati sambil terisak.
“Apa? Berita apa?” serentak
kayu-kayu lainnya bertanya penasaran apa yang dimaksud oleh Jati.
Jati tambah bersedu-sedan sambil
membayangkan hendak menjadi apa dia dan kawan-kawannya kelak. Semua kayu-kayu
di bengkel ini sudah sangat terkenal kualitasnya. Nomor satu di antara
bengkel-bengkel furniture lainnya yang ada di kota ini. Dan bengkel inipun
terkenal sebagai satu-satunya pemasok kursi-kursi terbaik nan kuat dan indah di
seantero kota. Jati dan kayu-kayu lainnya pun sadar hendak menjadi apa mereka
kelak.
Kursi.
Mereka semua akan menjadi kursi.
“Kemarin aku melihat berita di televisi
itu. Seorang walikota yang baru saja
dilantik tewas terbunuh. Ia dan supirnya ditemukan tewas dengan kepala
tertembus peluru. Mengerikan bukan?” Jati mulai menceritakan kegundahannya.
“Lalu kenapa kamu yang
bersedih?”Tanya Merbau asal Kalimantan itu.
“Aku yakin kalian tidak suka mendengar
alasan mengapa mereka tewas mengenaskan seperti itu kan? Ini karena teman-teman
kita terdahulu, dan bisa jadi kitapun akan mengakibatkan banyak kematian pula
nantinya.” Jati kecewa.
“Apa yang sebenarnya kau bicarakan
Jati??” Tanya Mahoni dengan agak marah.
Jati pun mulai bercerita.
Ini semua karena kursi.
Kabarnya walikota yang dibunuh
secara mengenaskan itu tidak pantas menduduki kursi jabatannya sebagai walikota.
Ia telah bermain curang dan memanipulasi jumlah suara dalam pemilihan beberapa
bulan lalu. Sementara sang pembunuh adalah orang bayaran yang disuruh oleh
lawan sang walikota yang kalah dalam pemilihan. Sang lawan kecewa bukan
kepalang karena ia gagal menduduki kursi itu hingga membunuh adalah cara yang
wajar menurutnya demi sebuah dendam dan sekarang ia diancam hukuman mati. Semua
mereka lakukan karena sebuah kursi bukan?
Kayu-kayu calon kursi seperti kita
ini bisa membawa keburukan bagi orang-orang, pernahkah kalian membayangkan itu?
Jati masih melanjutkan ceritanya.
Apakah kalian tahu juga, Pak Mayan,
si tukang kayu itu pernah bercerita kepada teman-temannya. Ia menyaksikan
bagaimana sebuah gedung mewah hangus terbakar karena warga marah besar. Dalam
gedung itu banyak korban berjatuhan, orang-orang bertubuh buncit yang kerap
mengenakan jas dan dasi tewas terpanggang di dalamnya. Warga merasa orang-orang
yang berada di dalam gedung mewah itu tak menepati janjinya. Mereka
berbondong-bondong membakar gedung itu dengan kemarahan yang tak lagi dapat
kalian bayangkan. Warga merasa tertipu oleh janji-janji mereka kala
memperebutkan sebuah kursi, hanya demi kursi dan karena kursi yang menjadi
sumber malapetaka itu.
Sesungguhnya aku tak ingin menjadi
kursi. Kursi itu menjadi benda terkutuk.
Pak Mayan juga pernah bercerita
bahwa ada seorang pengusaha kaya raya, yang menjadi sinting gara-gara sebuah
kursi. Dulu pengusaha itu sangat kaya, orang paling kaya di kota ini,
perusahaannya tersebar di banyak propinsi, rumahnya juga hampir ada di setiap
kota, mobil-mobil berjejer di garasinya. Namun ia mengorbankan semuanya, ia
gadaikan, bahkan ia jual hanya untuk modal kampanye dan memuluskan jalannya mendapatkan
sebuah kursi.
Lalu akhirnya apa? Ia gagal
mendapatkan kursi terkutuk itu, ia jatuh miskin, ia menjadi gila, dibunuhnya
istri dan anak-anaknya karena tak mampu lagi menghidupi mereka. Ia gila, dan ia
pun menenggak racun untuk mengakhiri nyawanya.
Pernah juga ada sebuah cerita
tentang seorang wanita muda nan cantik yang gantung diri. Ia menggantung
dirinya dan tewas beberapa menit kemudian setelah kursi yang menjadi pijakannya
untuk gantung diri ia robohkan. Ia mati dengan lidah terjulur di atas sebuah
kursi. Sungguh ia menjadi tak cantik lagi. Ia ditinggalkan kekasihnya.
Kekasihnya memilih menikah dengan wanita lain anak seorang terpandang yang
mampu menjanjikannya sebuah kursi teratas dalam sebuah departemen pemerintahan.
Lagi-lagi karena kursi. Kursi terkutuk yang banyak memakan korban.
Dan entah berapa banyak lagi
orang-orang mati karena kursi. Kita-kita ini adalah kursi-kursi selanjutnya.
Kita adalah calon kursi yang juga akan menyebabkan korban-korban mati dengan
konyol. Kita adalah sumber malapetaka itu.
Pernahkah kalian membayangkan itu,
betapa kita nantinya menjadi benda paling terkutuk yang membuat orang menjadi
gila, frustrasi, putus asa, dan mati.
Jati masih tersedu. Meranti, Mahoni,
Merbau, Kamper, dan yang lainnya terdiam.
Mungki Jati benar.
Brengsek sekali nasib yang membawa
para kayu-kayu unggulan itu menjadi akar masalah kota ini yang orang-orangnya
semakin serakah dan gila karena kursi.
Pak Mayan dan kawan-kawannya para
tukang kayu kembali dari warteg sebelah, perut mereka kenyang, tenagapun terisi
kembali. Para kayu kembali terdiam, mesin pemotong mulai dinyalakan lagi.
Bising pun kembali terdengar dari bengkel penuh serbuk kayu dan bau cat pelitur
itu.
Pak Baba, pemilik bengkel itu
tetiba datang. Dari raut mukanya terlihat ia lesu. Pria yang terkenal ramah dan
juga baik hati ini datang seperti biasa untuk mengawasi para pekerjanya sekali
sehari. Namun kali ini jelas nampak berbeda. Ia meminta para pekerja untuk
sejenak berhenti bekerja dan mematikan mesin pemotong kayu yang sudah mulai
bising itu.
Ia bermandat pada seluruh
pekerjanya.
“Saya prihatin dengan kondisi kota
kita sekarang ini, saya dengar pesanan kursi bulan ini sedang melonjak tinggi,
seharusnya saya bahagia akan hal itu, usaha saya menjadi sangat menguntungkan.
Namun entah mengapa ada perasaan bersalah di hati saya karena memproduksi kursi-kursi
yang diperebutkan itu. Banyak orang mati hanya karena sebuh kursi. Oleh
karenanya saya ingin memberitahu kalian bahwa dengan sangat menyesal saya ingin
menghentikan usaha pembuatan kursi ini.” Pak Baba berbicara dengan wajah
tertunduk.
Pak Mayan dan beberapa orang
lainnya di bengkel itu terkejut. Juga sedih. Jika usaha ini dihentikan
bagaimana mereka akan menghasilkan uang untuk makan anak dan istri mereka
nanti. Mereka menyimpulkan garis muka yang tak kalah sedihnya. Membayangkan
jika harus menganggur dan mencari kerja entah di mana lagi karena satu-satunya
keahlian yang mereka miliki hanyalah menjadi tukang kayu.
Bengkel senyap.
Pak Baba masih berdiri di tempat
yang sama ketika ia datang. Pak Mayan tampak mengelus-elus kayu meranti merah
yang tadi tengah ia kerjakan. Nampaknya ia terlanjur sayang dengan kayu-kayu
itu, berat untuk melepaskan pekerjaan ini, jiwanya tertambat pada kayu-kayu
yang akan ia ubah menjadi kursi-kursi sumber malapetaka. Tapi biar bagaimanapun
ia tak ingin barang yang ia produksi menjadi alasan orang-orang di kota ini
untuk saling membunuh. Ia pun merasa bersalah, sama dengan para kayu sahabatnya
sejak 20 tahun silam.
“Tapi tak perlulah kalian merasa
khawatir. Aku tidak akan benar-benar menutup usaha ini dan memecat kalian. Kalian
akan tetap bekerja di sini, bersama kayu-kayu pilihan itu.” Pak Baba memecah
keheningan ia sadar para pekerjanya sangat membutuhkan pekerjaan ini.
“Mulai saat ini kita tidak akan
lagi memproduksi kursi. Tidak juga kita banting setir. Saya tahu apa yang warga
kota ini butuhkan sekarang. Kita akan membuat peti-peti mati dengan kayu-kayu
ini. Ya peti mati. Nampaknya akan banyak yang membutuhkanya.”
Pak Baba tersenyum diikuti lenguh
Pak Mayan dan teman-temannya.
Lega.
***
Dear @yyunikaa, mohon maaf, ada 2 cerpen aku yang aku publish di sini, akan aku ganti dengan yang baru untuk project kita yang entah kapan, gara2 aku jadi ketunda terus. Bismillah selalu. Semoga terlaksana.
Comments
Well, golput kadang berguna untuk menyelamatkan Negaara dari calon pemimpin yang 'membunuh' rakyatnya pelan-pelan, kak. ;'(
Niiiicccceee story!!! :D