Skip to main content

Pangeran Kodok di Lorong Sekolah

(Cerpen ini saya buat ketika saya masih SMU, baru saya temukan di buku catatan lusuh kemarin saat saya membereskan lemari buku, saya edit sedikit, dan jadilah.... tapi harap maklum kalo ceritanya sangat ABG lol)

Sore seperti biasa di hari Minggu aku menonton Animal Planet bersama ibuku sambil mengupas kentang untuk dijadikan cemilan ala French malam nanti. Tapi, Animal Planet sore ini sangat mengerikan bagiku. Kali ini episode tentang burung beo. Bagus sih bagus burung beo-nya, tapi mengenaskan. Episode beo ini dibuka dengan segmen yang menampilkan betapa cantik-cantik dan indahnya burung beo itu. Lalu dilanjutkan dengan tayangan yang menampilkan bagaimana burung-burung beo nan indah liar itu ditangkap, kemudian diperlakukan secara kasar, belum lagi banyaknya burung beo itu mati sebelum sampai di toko yang menjual binatang peliharaan.

Kalau dipikir-pikir sadis sekali ya manusia, untuk kesenangan pribadinya, mereka mengorbankan kehidupan liar alam yang indah. Sama sadis dan mengenaskannya seperti orang yang mengikat seekor kera di pinggir kali Teluk Buyung tanpa atap atau naungan apapun yang membuat kera itu meringkuk kedinginan di musim penghujan seperti sekarang ini tanpa bisa kemana-mana. Sadis!

Tayangan burung beo ini mengingatkanku pada kodok. Loh???
Tidak, bukan karena kodok sama indahnya dengan beo, atau sama cerdas dan mahalnya, atau karena bisa diajarkan berbicara.
Bukan karena itu, hiiiiiyyyy....
Toh aku tetap tidak mau ada kodok hinggap di bahuku, berbicara bawel, dan mengambil kacang dari tanganku. Bukan karena itu sama sekali, tapi tayangan burung beo ini tetap mengingatkanku pada malangnya nasib kodok.

Duh, aku tak mau terus memikirkannya, biarlah aku menjadi anak nakal sehari saja dalam tiga tahun aku bersekolah di SMU. Besok sudah hari Senin, pelajaran biologi, dan besok aku harus melihat organ-organ dalam makhluk yang mengenaskan itu tercecer di meja-meja lab biologi.

Aku tak mau dan tak akan membawa kodok ke sekolah besok. Kasihan sekali mereka, dibantai habis-habisan hanya untuk dikeluarkan isi perutnya oleh masing-masing anak di kelasku yang penasaran akan seberapa panjang ususnya ataupun alat reproduksinya, yaiksss...!!

Malamnya, aku membawa kodok-kodok itu ke dalam mimpiku. Aku memimpikan mereka, dan tak ada mimpi yang tak aneh bagiku.
Kodok-kodok itu...
Mereka bersayap dan berparuh panjang.
Oh tidak....! Mungkin lebih tepatnya aku bermimpi tentang beo.
Burung-burung beo dengan mata menonjol, perut gembung yang burik, dan kaki yang berselaput.

Dalam mimpiku, aku berada di sawah belakang rumahku dengan Bu Aat dan teman-teman sekelasku. Kami semua seperti petani yang sedang menanam bibit padi. Tapi tak ada bibit padi satupun di situ yang ada hanya lumpur becek dan kodok yang berloncatan kian kemari.

"Tuh..tuh tangkap yang itu!! Jangan sampai lepas Des, eehhhh jangan diam saja, ayo tangkap! Nur, Lidya, coba tuh kesebelah sana! Banyak kodoknya! Catur! Mamat! Tolong kalengnya bawa kesini!!!" Bu Aat berteriak-teriak berinstruksi, baik di mimpi maupun di alam nyata beliau sama bawelnya seperti burung beo.

"Eh eh Mardiana, Tiwi, Lala, apa-apaan kalian?! hmm ingat! jangan merasa jijik atau ngeri. Ini demi ilmu pengetahuan. Ayo cepat tangkap kodok-kodok itu!"

Bu Aat kembali berseru pada Mardiana, Tiwi, dan Lala, anak-anak cheerleaders dari kelasku yang sedari tadi hanya bersorak-sorai di pematang sawah sambil menyemangati kami seolah-olah kami sedang mengikuti lomba menangkap kodok cantik. Dalam mimpiku itu mereka mengenakan kostum pemandu sorak SMU PGRI: blus putih bercorak silang merah, rok rample putih yang pendek banget, kaos kaki panjang selutut lengkap dengan pom-pom merah putih. Mereka terlihat bersih cemerlang seperti iklan deterjen kontras sekali dengan ku yang dekil dan berlumuran lumpur juga e'e kodok yang muncrat di mukaku ketika kumenangkapnya.


Senin paginya, setelah selesai upacara, aku berjalan lambat-lambat di lorong sekolah, menuju ruang kelas ku, 3 IPA 2. Sejak mimpi itu, aku memutuskan untuk tidak mengikuti kelas biologi di lab untuk membedah kodok, rasanya aku mau pura-pura sakit saja dan izin pulang. Namun tanpa aku, toh kegiatan itu tetap berjalan. Maka aku merubah pikiranku dan berpikir untuk memboikot kelas itu, sudah kusiapkan poster bertuliskan SELAMATKAN KODOK-KODOK! yang kusimpan tergulung di kolong meja.

Tapi apa aku berani?? Aku cuma sendiri, teman-temanku mana peduli. Riva lebih tertarik di dengan percobaan kimianya dan sudah pasti dia sangat menyukai lab. Nur?? justru dia bercita-cita sekali ingin menjadi guru biologi. Sedangkan Lidya?? Duuhh apa dia mau membantuku memboikot kelas ini??

Aku bingung, pura-pura sakit atau berdemo sendiri secara damai namun memalukan. Duuuhhh...!!
Aku tidak pernah tahu apa orang-orang lain juga selalu merasa bingung dan tak karuan sepertiku ketika dihadapkan pada pengambilan keputusan? Atau apakah setelah mengambil keputusan mereka merasa mantap dengan keputusan itu?
Yang jelas aku sama sekali tidak. Bila saat ini aku yakin dengan keputusanku, beberapa menit kemudian aku pasti berubah pikiran dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. Namun kali ini aku harus benar-benar memantapkan hatiku jika tidak ingin melihat kodok-kodok malang itu mati untuk kesia-siaan beberapa jam lagi.

Sesampainya di kelas, aku melihat Hasto sudah memakai jubah putih-putih ala dokter, jubah khusus lab yang ia beli beberapa minggu yang lalu di toko alat-alat medis milik keluarga Tommy teman sebangkunya. Yudi pun mengikuti apa yang Hasto lakukan. Mendadak kelas ini seperti dipenuhi oleh calon-calon dokter gadungan. Babeh dengan alat-alat bedahnya, pinset dan pisau kecil, juga Fahdi yang gemar sekali mempermainkan kodok seperti ia memainkan hp nya, pencet sana pencet sini, dan membuat Rahma, Khansa, Amel, Ndes dan Nisa berteriak teriak geli sambil mengucap beberapa kali kalimat Astagfirullah, Subhanallah. Dan Toto cuma bisa berteriak "pulang...pulang...!" sambil menabuh meja yang ia sulap menjadi seperangkat alat drum darurat mengiringi Dimas yang nge-break dance gaya baru, gaya kodok. Ha ha, cuma Catur yang tak nampak di antara para calon dokter dan anak-anak gokil itu.

Aku telah berdiri di samping mejaku, sementara anak-anak yang lain sibuk dengan kekonyolan dan keseriusan mereka yang tampak kontras. Terduduk di hadapanku Nunik tak bergeming dengan keriuhan kelas. Tekun sekali ia ingin mengkhatamkan Qur'an sebelum lulus sekolah. Akupun menghampirinya yang sedang khidmat membaca Al Qur'an kecilnya.

"Nunik..." Kataku ragu.

"Nunik kan rajin ibadahnya, pasti malaikat langsung denger deh doa Nunik terus langsung dikabulin deh sama Allah doa-doanya" Kataku lagi, merayunya.

"Kenapa Des??" Tanyanya kalem.

"Tolong doakan supaya tak ada pembantaian dan mayat-mayat berjatuhan ya...!" Ratapku.

"Tenang Des, Allah pasti akan selalu menolong dan melindungi sodara-sodara kita di Palestina sana, kamu gak usah khawatir..." katanya sambil memasukan Qur'an dengan hati-hati ke dalam tas.

"heeeeeeeeeee....." Aku menyeringai dan meringis kecut.

"Maksudku doakan supaya kodok-kodok itu selamat dari pembantaian masal... Nik"

Nunik cuma melongo.

Tak ada jalan lain, jika aku pura-pura sakit dan izin hari ini aku harus berhadapan dengan Bu Ginting yang tidak mungkin sembarangan memperbolehkan muridnya pulang begitu saja. Untuk itu aku meraba kolong mejaku dan mengambil poster itu.

Bu Aat dari tadi belum tampak batang hidungnya yang mungil, seraya aku bergegas ke ruang para guru. Dan aku merasa sedikit beruntung, karena walaupun tadi sempat bingung, ternyata aku masih bisa melanjutkan aksiku sebelum Bu Aat sampai ke kelas.

Kini aku berdiri di depan pintu ruang guru di lantai dua. Sambil mengangkat poster tinggi-tinggi di atas pundakku yang mulai lunglai. Suara dug..dug..dug.. itu terdengar semakin keras dan jelas. Yup, suara detak jantungku yang kian mendebar tatkala kulihat masih ada beberapa guru yang masih berbinacng di ruang itu. Aku takut dan bertanya-tanya dalam hati apakah aku akan berhententi bernapas saat ini juga atau jangan-jangan aku akan mendadak lumpuh saking takutnya.
Apa yang kulakukan?? Jeritku dalam hati.
Apa aku sudah gila?? Beberapa anak yang melewati lorong sekolah ini berbisik-bisik sambil tertawa cekikikan.

"Itukan Deska, anak IPA 2, dia lagi dihukum ya? atau lagi ngapain sih??" Suara seorang anak laki-laki dari kelas IPS menyentakku sambil berlalu.

Dan saat itulah aku berpikir, well, aku sudah kepalang tanggung, tak mungkin aku mundur dan membatalkan semuanya, ibaratnya sudah kecebur, ya mandi aja sekalian, kata bang Megy Z. Kembali aku mengangkat posterku tinggi-tinggi dengan kepala menunduk dan terdiam lalu aku mulai berjalan mondar-mandir di depan ruang guru.
Satu, dua, tiga, berbalik.
Satu, dua, tiga, berbalik.

Satu-satunya alasan aku terus mondar-mandir adalah karena aku tidak bisa berhenti.

Mukaku merah padam dan tanganku mulai gentar tatkala aku menyadari banyak anak-anak lain yang belum masuk kelas, sedang memperhatikanku dan membuat suara bisik-bisik yang semakin lama semakin gaduh.

Kemudian aku melihatnya, Ghani (bukan nama sebenarnya) yang tampan dan akan selalu terlihat tampan. Mantan pacarku semenjak SMP itu lewat dan menoleh ke arahku. Apakah dia shock? Apakah dia malu? Wah, pasti dia sangat malu melihatku seperti ini. Tapi lebih dari itu aku tahu ia marah, ia membuang muka. Mendadak aku sadar seketika, inilah yang membuat hubunganku tak pernah berhasil dengannya, aku melihat perbedaan itu. Perbedaan antara kami bukan karena dia cowok populer idaman setiap cewek di sekolah ini, keren, ganteng, jago basket, pintar pula. Sementara aku si kutu buku yang hobinya terduduk dipojok ruang kelas, sama sekali gak jago olahraga, apalagi bergaul. Bukan tentang itu, perbedaan yang mendasar pada kami yaitu bahwa ia begitu peduli tentang pendapat orang-orang tentang kami, tentang bagaimana berpenampilan, menjaga tubuh, bergaul, dan bla...bla...bla... sementara aku tidak peduli sama sekali.

Untuk apa aku peduli? Toh kurang dari setahun lagi kami sama-sama lulus SMU. Saat itu, siapa yang peduli bila semasa SMU aku begitu kuper dan penyendiri. Tidak ada yang peduli. Tidak Ghani, tidak juga yang lainnya. Aku sudah jelas tidak. Dan siapa yang peduli apakah aku berjuang malu-maluan melawan ketidakadilan terhadap nasib katak di dunia ini atau tidak? Akulah yang peduli.

Bisik-bisik itupun akhirnya terdengar ke dalam ruang guru.

"Desssskaaaaa....!!!!" Bu Aat berteriak.

"Apa-apaan ini??"

Aku tidak menyadari kedatangan Bu Aat, tiba-tiba dia sudah berdiri di depanku. Kuturunkan posterku, dan kuhadiahi ia senyumku yang lebar penuh rayu.

"Pisss bu, damai, saya kurang setuju sama kegiatan membedah katak di kelas ibu. Kan kita bisa belajar dari buku, atau membeli anatomi kodok buatan tanpa harus membedah dan membunuh banyak kodok. Kalo jumlah murid dikelas saya aja ada 42, dan masing-masing anak bawa satu kodok, coba ibu bayangin berapa banyak kodok yang mati untuk percobaan seluruh kelas IPA, kasihan kan bu?"

"Kamu ini, bilang aja kamu jijik!! udah sana masuk kelas sana bell sudah bunyi. Siapin kodok dan baju lab kamu!"

Tuh kan sudah ku bilang ini akan sia-sia, sungutku dalam hati.

Aku menuruni tangga mengikuti Bu Aat yang bergegas ke lab biologi, hingga tiba-tiba kudengar anak perempuan dari kelas IPS menjerit di lorong sekolah.

"Hiiiiyyyyyyyyyy.......ada KODOOOOOOOOKKKK!!!!!!!!

Wow! mimpikah aku!

Ratusan kodok melompat-lompat liar kesana kemari. Kodok-kodok hijau dan burik itu berloncatan, ada yang menyebur ke got, lompat ke ruang kelas, hinggap di pohon-pohon taman dan ada pula yang menempel di kaca-kaca jendela klelas membuat anak-anak perempuan dan guru-guru berkeluaran dan menjerit-jerit centil, sementara anak-anak prianya memunguti kodok dan menjijikannya pada anak yang kegelian.

Suasana menjadi tambah ramai dan seru. Siapa ya yang melepaskan kodok-kodok itu? Aku tersenyum puas. Bu Aat melirikku dan berkata, "jangan bilang ini perbuatan kamu! Ayo cepat tangkap semua!!!"

"Bu...bu..bu..kan saya Bu! Suweerr!" Saya nyengir lebar sekali sambil mengacungkan dua jari tanpa bergeming menuruti perintahnya.

Dari ujung lorong itulah baru kutahu siapa biang keladi tindakan kriminal ini. Seorang muncul di ujung lorong sekolah mengenakan kostum badut kodok seperti kerokeropi yang mungkin saja bisa kita lihat di dufan atau di acara-acara karnaval anak-anak TK.

Kostum yang bagus, kataku dalam hati. Dan memang benar, bukan hanya kostumnya yang berwarna hijau beludru dengan mata bulat mencolot yang membuatnya lucu, tapi justru karena tulisan di dadanya.

"BELAHLAH SAJA DADAKU, TAPI JANGAN KODOK-KODOK MALANG ITU!!"

Bu Aat menjadi geram dan menghampirinya, akupun turut serta.

"Hey, apa-apaan kamu?? buka bajunya!!!" Hardik Bu Aat.

Ternyata ada orang lain yang lebih peduli pada kodok-kodok itu daripada aku. Aku bangga dan merasa tidak sendiri. Bahkan ia bisa dengan berani mengadakan aksi tetrikal yang cemerlang seperti ini. Tiba-tiba jantungku kembali berdebar menunggu ia membuka kostum lucunya itu.

Kulihat senyum itu keluar dari balik kepala kerokeropi yang pastilah sangat lembab dan gerah berada di dalamnya. Seorang anak cowok berkacamata.

Catur.......!!!!!!

"Hihi maaf Bu, saya terpaksa ngelepasin semua kodok-kodok itu..! Kasihan kan..."

Wow! Ternyata dia Catur. Tak kusangka dalam beberapa hal ia memang sehati denganku. Menggambar, menulis, nomor absen yang berdampingan ternyata kita memang sehati (maksudnya masih sama-sama punya hati dan belas kasihan terhadap sesama makhluk).

Dia memang Pangeran Kodok.

Bukan saja ia telah menyelamatkan kodok-kodok itu dari pembantaian, ia juga telah membuatku merasa tak sendiri, setidaknya tak sendiri untuk di hukum dan di adili ke ruang BP.

Aku rela dihukum, asalkan kodok-kodok itu terbebas dari pembantaian. Lagipula ini gak buruk-buruk amat, ada yang menemaniku di hukum, yup, Si Pangeran Kodok. Aku benar-benar terkesima melihat ketulusan dan ide brilian Catur saat itu.

Dan kami pun berdua akhirnya di giring ke ruang BP atas insiden kodok itu.

"Des tahu gak?" Kata Catur kala itu, saat kami berdua menunggu kedatangan guru BP dan wali kelas kami di ruang BP nan nyaman itu.

"Apa...?" Tanyaku.

"Aku gak akan membiarkan kamu mempermalukan diri kamu seorang diri. Waktu aku lihat poster yang kamu sembunyiin di kolong meja pagi-pagi sekali, aku langsung dapet ide ini dan mencuri kostum kodok bekas karnaval tahun lalu di ruang kesenian."

Catu...rrr, hatiku bergetar.

"Tenang kamu gak dihukum sendiri." Bisiknya lagi sambil menggenggam tanganku yang gemetaran tak karuan.

**********************************LOL**********************************

Comments

Syifa Ananda said…
Hihihi... SMA nya dimana ms.? Ngeri juga ngebelek kodok...
Anonymous said…
* Catur al Jawwi *

Terima kasih atas cerpen yang telah lounching di sel abu-abu buatan Deasy Dezka yg mengusung nama gw di dalamnya,gw ga keberatan coz peran gw didalamnya bagus juga dan lucu.hehehee..
ga gitu juga sih,itu semua karna yang buatnya jg keren..

Heheehe..jadi kangen masa SMA dengan anak" yang laen des.!!!
Mmmmm...keren dah untuk ceritanya.!!!
Dessy Aster said…
cerita ini hanya fiktif belaka,hanya khayalan saya saja, untuk anak kelapa Duren, maaf ya... udah pake nama kalian... hehe Catur sorry...

Vis...vis...visual

Miss U all
Anonymous said…
de,,Thanks bgt dah cantumin nm gw,di cerpen lo,yg dalam hayalpun gw blm berani buat pegang kodok,pdhl gw guru IPA yg jurusan biologi,,hehe,alhamd cita2 gw kesampaian hehe
POKOKnya...
keren bgt,bikin gw jadi kangen sm masa2 SMA qt,,huft,selalu penuh sm wrna dan rasa dah kyk nano2 deh 1 thun bersama kalia,miss u all.
1x lagi,,,KEREN CERITA'a
vis2 visual,,kelapa duren (kls 3IPA2 Keren)^_^
Anonymous said…
de,,Thanks bgt dah cantumin nm gw,di cerpen lo,yg dalam hayalpun gw blm berani buat pegang kodok,pdhl gw guru IPA yg jurusan biologi,,hehe,alhamd cita2 gw kesampaian hehe
POKOKnya...
keren bgt,bikin gw jadi kangen sm masa2 SMA qt,,huft,selalu penuh sm wrna dan rasa dah kyk nano2 deh 1 thun bersama kalia,miss u all.
1x lagi,,,KEREN CERITA'a
vis2 visual,,kelapa duren (kls 3IPA2 Keren)^_^ *NURHASANAH (Nur)*
Kos said…
Keren2, Hidup Pangeran Kodok.....!!!
I'm_Oz said…
lucu.... aku juga ngalamin tuh ngebedah kodok waktu pelajaran Biologi.... iuuhhh jijik banget.... aku jd kgen msa SMA :D

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu