Skip to main content

Dalam Sel Abu-abu

Tiba-tiba aku merasa lumpuh
Gelap…
Dingin…
Sepi kini memberi arti
Karena alasan itu aku ada…
Tapi,
Aku akan mulai lenyap
Senyap…
Dalam angkasa yang kian membisu
Bahkan hujanpun tak menyuarakan jeruji cairnya saat terserap bumi
Dan aku…
Aku menciumnya; Aroma itu…
Aroma kematian
Aku mulai lenyap bagai asap rokok dalam siluet jingga yang kian memudar…perlahan …pelan
Diantara lembayung senja setiap sel tubuhku mulai berpendar
Tapi aku belum mau pergi
Aku mau tetap tinggal bagai Bidadari
Wahai kau Sel Abu-abu
Ciptakanlah aku kembali…

Sisa-sisa kabut peninggalan malam beredar memantul dalam retina matanya. Aroma hijau daun pagi tak mau kalah berebut masuk lubang penciuman mancungnya menuju dua klep paru-paru di antara belulang iganya. Kicauan burung pagipun merdu bermain-main dalam gendang telinganya.

‘Wahai Kau Ksatriaku, selamat pagi…

Lihatlah, pagi ini begitu sempurna. Namun, mengapa Kau hanya diam berdiri dan menatapnya nanar di balik jendela kamarmu yang mewah ini? Bergegaslah Sayang pagi akan segera berganti. Apa rencanamu hari ini?’

Dia adalah Arga, nama ksatria merahku. Dia masih asyik dalam lamunannya. Mungkin mengatur rencana.

‘Ksatria Merahku, adakah aku masuk dalam rentetan rencanamu hari ini? Adakah namaku dalam daftar kegiatanmu?

Kau selalu memberikanku nama-nama yang begitu indah. Jingga, Matahari Pagi, Lembayung Senja, Bidadari Malam. Terserah…. terserah dengan julukan apapun Kau memanggilku aku akan selalu datang saat hatimu memanggil salah satu namaku.

Arga-ku, mengapa Kau masih enggan bergegas? Ataukah memang tak ada rencana hari ini? Entah hari apa ini, yang jelas hari ini begitu sempurna untuk Kau lalui begitu saja. Atau Kau hanya ingin berdua saja denganku disini? Hingga bulan mengganti singgasana matahari’

Hatiku mendadak bergemuruh hebat. Perasaan apa ini? Nafasku tercekat oleh sebuah aroma aneh. Apa ini? Sekatika udara di ruangan ini begitu menyesakkan. Aku tak tahu ada apa ini. Seperti sesuatau akan terjadi.

Kupu-kupu hitam itu.

Pertanda apa?

Mungkinkah akan ada tamu hari ini?

Mungkinkah akan ada yang datang ketempat ini?

‘Arga, bergegaslah. Jangan hanya diam. Perasaanku mulai tak enak!’

“Jingga, kemarilah Sayang!” Arga, memanggilku dengan lembut.

Kupeluk pinggangnya dari belakang ku hirup dalam-dalam wangi di tubuhnya yang kian menghangat.

“Jingga, tanganmu dingin,” dengan datar ia merasakan dingin tanganku. Kau mungkin tak tahu Arga, aku bisa saja membakarmu dengan dinginku.

“Aku mencintaimu, Matahari Pagi-ku.” Ia berbisik pelan namun menggema keras ditelingaku.

“Bidadari Malam-ku, lihatlah diluar sana!” Arga menarik tanganku dengan lembut ia beralih, kini ia yang mendekapku dari belakang, hingga dapat kurasakan embusan nafasnya yang hangat diantara tengkukku. Betapa pagi ini begitu mempesonaku.

“Lihatlah keluar sana!” Arga menunjuk ke halaman rumah tetangganya yang tepat berada di hadapan kamar ini. Matanya terpatri pada sesosok gadis kecil yang tengah bermain boneka sendiri. Dia sendirian. Begitu sepi.

“Tidak, Kau salah Bidadari Malam-ku, gadis kecil itu tidak sedang sendiri. Tidakkah Kau lihat dia sedang berbincang? Maka perhatikanlah gerak bibirnya. Tidakkah Kau lihat, Sayang? Ia sedang asyik menjamu teman-teman bermainnya dengan cangkir-cangkir nan mungil itu.”

Arga, mata dan bibirnya begitu sempurna saat memperhatikan dan membicarakan gadis kecil itu. Namun, kulihat keanehan terpancar dari setiap kata yang diutarakannya.

‘Ksatriaku, jelas sekali kulihat anak itu sedang bermain seorang diri.’

“Namanya Rana, ia anak semata wayang keluarga itu. Mungkin sekarang ayah dan ibunya sudah pergi meninggalkanya bekerja. Kini tinggal ia dan teman khayalannya yang tengah mengisi keceriaan rumah itu.” Ksatria Mars-ku menjelaskan perihal gadis kecil itu.

‘Tapi… Mars sayangku, aku masih belum mengerti. Teman khayalan apa maksudmu?’

“Gadis itu kesepian, Jingga. Karena itulah ia menciptakan teman khayalan dalam otaknya yang kemudian diajaknya bermain, tertawa, bicara, menemaninya sepanjang hari. Agar ia tidak merasa sepi dan sendirian.”

‘Mars, kini peluklah aku lebih erat, agar Kau tak merasakan yang gadis itu rasakan.’

Arga, Ksatria Mars-ku tiba-tiba melepaskan dekapannya dari tubuhku.

Pintu kamar itu.

Seseorang membukanya.

Ada segurat keceriaan di wajah Ksatria Mars-ku saat menghampirinya.

Aroma itu… kian menyengat penciumanku. Kematiankah…?

Pintu kamar itu kian terbuka lebar. Aura panas keluar darinya dan meyergapku.

…?

Ternyata seorang pria tampan. Kukira malaikat kematian yang datang. Tapi, perasaan aneh ini lagi. Kembali menghinggapiku.

Seorang pria tampan bertubuh tegap itu menghambur masuk kemudian.

“Ruben!”

Pria itu, Arga memanggilnya Ruben. Dua malaikat tampan berdiri di hadapanku kini. Mereka berpelukan erat.

‘Siapa dia, Arga? Mengapa tak pernah Kau ceritakan padaku Kau mempunyai teman setampan itu?’

Mereka terus berpelukan. Lebih erat.

Saat pintu kembali tertutup. Mereka….

Mereka berciuman.

Aku menghampirinya, ‘Hei!! Siapa Kamu!?’

Aku mencoba memisahkan kedua pria ini, tapi kedua pria ini—Arga dan Ruben—tetap tidak mempedulikanku.

‘Arga tolong hentikan!’

Suaraku sengau termakan riuhnya detak jantungku yang semakin kencang. Darahku kian terpompa. Tetapi Arga dan Ruben tetap berpelukkan tanpa menghiraukanku.

‘Arga, Ruben, tidakkah kalian dengar suaraku?’

Arga…
Ruben…
Mereka bercinta dihadapanku.
Dalam kamar ini.

Mereka bahkan tidak merasakan keberadaanku. Tubuhku lemah sekarang. Perutku bergejolak. Aku muak. Mereka melakukannya lagi.

Namun, Ruben melepaskannya perlahan, seraya membisikkan sesuatu ke telinga Arga-ku, “Arga, aku telah datang kesini hanya untuk kamu, maka mulai saat ini berhentilah bermain dengan kekasih khayalanmu. Aku disini sekarang dan aku nyata.”

Aku terperanjat.
Tubuhku kian melumpuh.
Mereka kembali berpelukan kali ini lebih erat dan lama.
Juga sungguhan.
Kini aku benar-benar merasakan aroma kematian itu.
Aku memudar bagai siluet jingga.
Perlahan…pelan.
Dalam sel kelabu Ksatria-ku
Tak ada lagi aku…
***

Comments

aPpLe_Lov3rS said…
Hiks... hiks... hiks... Bagus n sedih banget....

Popular posts from this blog

#Day 7: Daisy, Kumbang dan Matahari Bercerita pada Taman

Than there to look upon the daisy, That for good reason men do name The ‘day’s-eye’ or else the ‘eye of day,’ The  Empress,  and flower of flowers all. I pray to God good may her befall.   ~Chaucer   Adalah bunga liar nan tumbuh bergerombol, kecil-kecil dengan warna putih dan nektarnya yang kuning, semarak menghiasi taman dengan kemilau yang mengharmonisasi hijau daun dan alang-alang. Ia selalu ingin bisa seperti mereka yang indah dan anggun menghiasi taman. Ia kemudian hanya bisa tersenyum simpul, tangkai dan kelopaknya berdansa kian kemari tatkala angin semilir meniup kehidupannya yang nyaris sempurna. Chaucer berfilosofi, daisy adalah "the day's eye" matanya hari, matahari. Ia mencuri bentuk Matahari. Bentuknya menyerupai mata sang hari, yang begitu indah menerangi. Tapi di sudut taman ini, ada setangkai Daisy yang merasa kelabu, harapannya kosong. Daisy yang tidak pernah bisa percaya diri, Daisy yang tidak pernah bisa melihat bahwa dirinya sa...

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha...