Skip to main content

Dengarlah, Bisikan Hujan

Jumat 13 November 2009

Inilah yang terjadi ketika hari sedang kelabu, dalam sebuah angkot yang jendela kacanya tertutup embun karena diluar hujan deras dan aku tak bisa menikmati pemandangan malam lewat sebuah perjalanan singkat dan mendengar lagu-lagu bernuansa dingin seperti biasanya: inilah yang terjadi, inilah yang kurasakan, sebuah perasaan kelabu yang tidak putih tidak juga hitam. Samar, seperti kabut yang menghalangi hak mataku atas pemandangan yang terhampar dihadapanku. (Halah!!) Aku memang suka mendramatisir keadaan, menciptakan imaginasi yang berlebih di otakku yang kemudian lahirlah hujan.

Diluar sana memang s
edang hujan tapi yang ini hujan jatuh dari sudut mataku. Untung saja di luar hujan dan keadaan di dalam angkot yang kunaiki selepas berkegiatan rutin sore itu lumayan gelap, terlebih hanya ada aku dan si supir angkot di dalamnya. Hingga aku dapat berleluasa mencucurkan hujan dari mataku yang aku sendiri benci melakukannya. Aku benci mengakui bahwa aku sangat takut kala itu, bahkan hingga kini. Dan hujan memperburuk suasana. Membuatku semakin takut.

Tahukah kau apa yang kutakuti saat itu? Bahkan hingga saat ini? Aku takut kehilangan Cahaya, sosok yang kini membuatku hidup atau sosok yang menyadari bahwa aku hidup dan berhak atas hidupku. Cahaya yang mengeluarkanku dari gelapnya kepura-puraan dan kesedihan. Cahaya itu, Matahariku, aku takut kembali seperti dulu, berada dalam gelap, ketakutan, dan keterasingan. Namun, Cahayaku membawaku dalam ketakutanku kembali pada ketakutanku.

Inilah yang terjadi di angkot saat hujan bersuka cita membasahi bumi dan pipiku sore menjelang malam itu, aku menulis seperti biasa pada notes dalam handphone ku. Inilah yang terjadi, inilah ketakutanku, inilah yang dibisikan hujan padaku.
"Sayangku, Matahariku, maafkan aku jika nanti pada suatu saat kau menemukanku layu terbakar panas yang keluar dari auramu. Atau pada suatu kala dimana kau akan menemukanku menyerah mati di tengah ilalang karena ku tak mampu menjangkaumu, mencuri secercah sinarmu, meski hanya secercah. Sungguh bukan mauku pergi darimu, namun aku merasa seberapa pun besar usahaku, aku tak mampu terus mengejarmu, aku melemah dan tak berdaya disisimu.

Sayangku, bisakah aku hanya seperti aku yang dulu: terdiam disudut ruangan memandangi dan terus mengagumimu tanpa terbersit dipikiranku untuk memilikimu? Matahariku, bisakah aku hanya seperti aku yang duluyang hanya membisu menatapmu, namun kau selalu dapat mengartikan bahasa bisu tatapanku tanpa ada hasratmu untuk dekat denganku?

Bisakah kita hanya seperti kita yang dulu yang tak menyadari bahwa cinta memang ada? Bahwa kita telah memendam cinta yang dulu kita anggap tak mungkin?

Kini setelah mataku bisa secara langsung bicara dengan hatimu dan aku tak lagi hanya bisa membisu mengutarakan berkali-kali bahwa aku mencintaimu. Dan kaupun tak lagi hanya dapat memendam rasa itu, bahwa kini kaupun bisa mencium perasaanku dan memeluk pikiranku, aku merasa ada sesuatu yang tertinggal, mengganjal, berkelindan, tapi entah apa.

Tapi sayangku, kini aku menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dari kita. Tahukah kau apa itu? Keterdiaman yang indah, represi yang tak mudah, dan jarak yang memisah."

Tahukah kau mengapa hujan berbisik itu padaku??? Karena kini Cahayaku semakin menjauh, redup dan aku merindukannya sangat. Tak perlu kata-kata untukku mendefinisikan perasaan takutku, tapi hujan dimataku berhasil menafsirkannya.

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu