Skip to main content

Chapter I

Antara Aku, Si Merah, dan Si Hitam


Aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, aku harus menulis tentang aku, tentang kami, tentang apa yang sudah terjadi sebelum semuanya menjadi kacau, hanya gara-gara ulahku, sebelum semua terlambat. Sebelum…


Ini tentang Aku, si Merah, dan si Hitam. Kami bersama-sama bermain dalam taman belakang rumah yang kami juluki rimba. Rimba, karena sangat luas untuk ukuran taman dan juga jauh dibilang indah karena tidak terurus. Namun, ada empat pepohonan tua besar yang tinggi menjulang tumbuh di taman ini. Mereka sejajar berhimpitan dan hampir membentuk setengah lingkaran, seperti empat sekawan yang sedang berangkulan tangan, kami menjadi sulit membedakan mana ranting dari pohon yang satu dengan pohon yang lainnya.


Pepohon itulah yang membuat taman ini tampak seperti rimba belantara, cahaya matahari sulit menembus tanah taman ini hingga jika tiba musim penghujan tanah menjadi berlumut dan tumbuh jamur disela-sela kaki pepohon itu. Tapi aku amat menyukai aroma yang keluar dari perpaduan lumut, jamur, dan bau tanah basah. Bau khas yang membuatku bersemangat tiap kali menjelajah taman ini bersama kedua temanku. Bau petualangan yang menggiring aku, si Merah, dan si Hitam masuk kedalamnya.


Tubuhku memang paling kecil jika dibandingkan dengan si Merah atau si Hitam tapi akulah yang paling pemberani diantara mereka. Setidaknya itulah yang aku alami. Aku menjadi pemimpin antara kami bertiga, dalam perjalanan kami di taman ini akulah yang berjalan paling depan. Kami tidak berjalan beriringan melainkan berbaris seperti tentara. Merah sering sekali menengok kekiri dan kanan seperti seorang yang sedang melakukan senam irama.


“Kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri…” begitulah Hitam meledek Merah tiap kali Merah memengokkan kepalanya ke kanan dan kiri. Gerakan Merah berirama tanpa takut kepalanya tak bisa berhenti menengok. Ketika kutanya kenapa dia selalu begitu dia hanya menjawab ringan, “aku waspada, takut ada musuh menerjang!” lalu Hitam pun tertawa.


“Kita hanya di taman Red, tak perlu takut.” Ujar Hitam.


Ia selalu memanggil Merah dengan julukan Red, dan terkadang ia sering marah jika aku memanggilnya Hitam, ia ingin dipanggil Black.


“Cool is Black, Black is Cool, damn people that say we’re fool!”
katanya suatu ketika dengan gaya rapper yang ia contoh dari MTV. Aku geli melihatnya seperti itu, bicaranya bagai orang kulit Putih padahal dia sendiri Hitam.

“Lalu kenapa kau selalu berada di belakang Black? Bukan karena kau juga takut
kan?” Tanyaku pada Hitam.

“Justru aku berada di belakang untuk mengawasi kalian para perempuan yang lemah. Hahaha…” Sial! Lagi-lagi gender yang ia permasalahkan. Aku hanya bersungut mendengar celotehnya yang menyebalkan, tunggu sampai aku buktikan bahwa kau memang penakut.


Well, sebenarnya ini bukan masalah takut atau berani tapi ini masalah tanggung jawab. Ya, kami harus bertanggung jawab atas ucapan kami tempo hari tentang taman ini.

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu