Skip to main content

Apa Kau Melihat Bintang?

"Apa kau melihat bintang?" tanya Tiar kala itu.
Kala malam ketika ia dan Dinan duduk bersebelahan pada bukit belakang kota sambil menatap langit yang berantakan oleh bintang dan laut yang tenang di bawah sana.

"Tiar, langit malam ini hitam, aku sama sekali tidak melihat bintang diatas sana. Kota telah menjadi begitu gemerlapan oleh lampu-lampunya sehingga batas antara bumi dan langit seakan lenyap. Cahaya bintang tersamarkan oleh megahnya gemintang kota." kata Dinan.

Dinan, bicaramu bagai seorang penyair saja, bisik Tiar dalam hatinya. Tiar tersenyum kecil. Ia tahu Dinan akan selalu seperti itu, hal-hal kecil yang nyaris tak terjamah keindahan akan selalu luar biasa jika keluar dari mulut Dinan. Ia bagai pujangga, seorang yang dianugerahi kemampuan untuk menjelaskan segalanya dengan indah, cantik, namun masih terdengar rasional.

Dinan hanya berbisik, aku bukan pujangga seperti yang selalu kau bisikkan dalam hatimu, Tiar. Aku hanya cahaya yang redup. Semua yang kukatakan padamu hanyalah sebuah mimesis, aku mengimitasi apa yang panca inderaku rasakan, aku hanya memimesis apa yang disuguhkan alam untuk kita, begitu juga yang dikatakan Aristotle muridnya Plato. Aku hanya ingin kau juga lihat apa yang aku lihat. Aku punya mata dan kau lebih punya hati.

Begitulah, dua anak itu menghabiskan waktu senggang mereka, mencari bintang di tengah kota yang gemerlapan. Namun suasana mendadak hening. Dinan diam. Tiar hanya membisu. Tak nampak satupun bintang malam itu. Dinan merebahkan tubuhnya perlahan diatas rumput dinaungi langit malam itu, sementara Tiar duduk termangu sambil mencabuti sejumput rerumputan dengan tangannya dan melempar-lemparkannya.

"Din? Kau tahu apa yang kumau dari dulu kan?" tanya Tiar.
"Ya.." jawab Dinan pelan.
"Jangan-jangan aku memang ditakdirkan terlahir seperti ini. Cacat. Ada bahasa yang selalu tak kumengerti. Bahasa yang selalu dengan mudah kau definisikan namun sulit untuk kutangkap dalam logika pengindraanku, karena ku hanya tahu penandanya tanpa pernah kujamah petandanya karena aku buta!!" Tiar berkeluh, rumput ditangannya dicabut begitu saja dengan kasarnya.

"Aku cuma ingin melihat bintang, apakah itu berlebihan, Din?" suara Tiar bergetar namun tampak tenang. Dinan bangun dari rebahnya menghampiri Tiar.

"Maafkan aku, aku yang selalu bilang bahwa bintang itu indah, bahwa bintang itu gemerlapan, berkelap-kelip centil dilangit bagai hiasan dikalung bunda. Semua itu bohong. Bintang itu tak ada, bahkan langitpun selalu hitam, sepertinya langitpun enggan diterangi oleh bintang karena bumi dengan begitu sombongnya menggantikan cahaya-cahaya dilangit sana. Bintang itu hanya mitos Yar," Dinan mencoba menghibur, namun hatinya terluka karena ia tahu selama ini mustahil menggambarkan indahnya cahaya bintang pada mata Tiar yang selalu gelap.

"Maafkan aku, Yar" Dianan mengutuki dirinya sendiri.

"Kau salah, aku bisa melihat bintang kini, cuma ada satu, bersinar te
rang dihadapanku. Kamu. Mungkin kau tak pernah menyadarinya, tapi kau selalu menerangi hari-hariku dengan keberadaanmu disampingku. Kau lebih dari sekedar bintang, tapi kau memang bintang."

Tiar tersenyum, sekelebat cahaya menyadarkannya kalau bintang yang didambakannya selalu ada disampingnya.


(Buat Dinda dan bintang yang gemerlapan dihatinya)

Comments

Anonymous said…
bintang ga selalu memberi keindahan lewat sinarnya tapi dengan kenyamanan saat gelap meliputi kita. .
bintang yang sebenarnya bukan yang sombong akan keindahan cahayanya tapi ketidahtahuan akan cahayanya yang selalu menyinari. .

=>Cerita yang keren,Contoh rendah hati yang baik. .
Anonymous said…
Makasih ya dez..

-Dinda-
Unknown said…
bagus ceritanya kak ^_^
memang bintang itu lebih. tapi ada yg lebih indah lagi, yaitu sahabat,teman, dan keluarga yg selalu berusaha membuatmu bahagia disaat kamu terpuruk. lanjutnya karya nya kak :)

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu