Skip to main content

Aku dan Tubuhku (ref: Ayu Utami, Larung)

"Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora sebagaimana kantong semar. Namun ia tidak mengundang serangga , melainkan binatang yang lebih besar, bodoh dan tak bertulang belakang, dengan manipulasi aroma lendir sebagaimana yang dilakukan bakung bangkai. Sesungguhnya bunga karnivora bukan memakan daging melainkan menghisap cairan dari dari makhluk yang terjebak dalam rongga dibalik kelopak-kelopaknya yang hangat. Otot-ototnya yang kuat, rerelung dindingnya yang kedap, dan permukaan liangnya yang basah akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes, sperma pada vagina. Tapi klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin." (Ayu Utami, Larung 153).

(Nepenthes)

Itulah sepenggal paragraf dari novel Ayu Utami berjudul Larung yang saya sukai. Kenapa? Tabu? Gak pantas? Mesti disensor??? Wait a minute!

Mungkin berbicara mengenai seks adalah hal yang tabu pada masyarakat kita, masyarakat "Timur" yang [katanya] menjunjung tinggi nilai sopan santun dan moralitas. Namun pernahkah terlintas bahwa moralitas yang diagung-agungkan dan nilai-nilai kesopanan yang amat sangat dijunjung tinggi telah menjadi sesuatu yang berlebihan, sebagaimana yang ingin didekonstruksi oleh Ayu Utami dalam dua novelnya (yang pernah saya baca) Saman dan Larung. Dalam novelnya tersebut Ayu menurut saya cukup berani dalam mendobrak ketersusunan bahasa yang cenderung patriarkal dalam struktur masyarakat kita. (Mestinya saya harus baca Lacan lagi nih biar argumennya kuat *lol*).

Dalam novel tersebut Ayu memang banyak menceritakan tentang seks, (madness, dan agama) dan menurutnya ada sebuah bias ketika membicarakan tentang perempuan dan seks dalam perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Dan memang benar, contohnya saja kata "Orgasme" dalam kamus bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "kemarahan" padahal menurut saya sendiri orgasme itu adalah ketika perempuan mencapai titik kepuasan dalam melakukan sebuah hubungan seksual (sexual intercourse), bukankah perempuan akan merasa senang bila bisa mencapai tahap itu, namun mengapa diterjemahkan menjadi sebuah kemarahan??? (saya masih belum bisa menemukan jawabannya).

Selain orgasme, dalam kamus atau kosakata yang dimiliki bahasa Indonesia adakah sebuah kata yang merupakan bahsa asli Indonesia yang digunakan sebagai referren untuk alat kelamin perempuan??? Jika laki-laki diberi kata "pelir" dan "buah zakar" namun apa bahasa Indonesia untuk "vagina", "vulva", "labia" atau "clitoris", bukankah kesemuanya itu berasal dari bahasa asing??? Sangat tidak adil ya?? Ketidakadilan lainnya adalah penggunaan kata "pelacur" alih-alih agar terdengar lebih sopan dan bermoral kata pelacur terebut digantikan dengan WTS yang merupakan kependekan dari Wanita Tuna Susila, bukankah tuna susila justru terdengar lebih kasar ditelinga??

Jika kita (khusus perempuan) membicarakan mengenai seks secara terang-terangan seperti yang dilakukan Ayu Utami pada novel-novelnya tersebut tentu kita akan dicap sebagai perempuan yang XXX dan terkesan vulgar. Namun justru bukankah perempuanlah yang harusnya lebih berani membicarakan masalah seksualitasnya?? Karena fungsi seks perempuan dan laki-laki jelas berbeda. Perempuan bisa hamilmeski ia tidak menikamti seks. Perempuan bisa diperkosa dengan gampang, sehingga ia harus tahu tentang organ-organ tubuhnya. Ironisnya nilai-nilai di masyarakat seringakali membuat perempuan tidak tahu dan tidak menguasai tubuhnya.

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu