Skip to main content

Buat Mas Adhit

Mungkin waktu terus mencuri kisah yang kita tumbuhkan bersama mencoba menyelamatkan yang tertinggal, lupakan betapa memarnya perasaan. Bila kita harus berpisah setelah ratusan malam kumenangis mencoba menahan luka perpisahan. Tanpamu hidupku tiada lagi berarti. Kau yang kurindukan selama-lamanya, memahami jiwaku seutuhnya walau berurai airmata.
Kau yang kucintai selama-lamanya memiliki jiwaku setulusnya hingga nafasku kan berakhir... (Saras Dewi, Jiwa)

Mas, setelah malam itu tak akan ada lagi kamu, tak jua ada aku. Sudah kucoba sekuat tenaga, namun dayaku kian melemah ketika bayangmu selalu hadir. Entah kenapa kau selalu menjadi bayangan yang sangat sulit untukku hindari. Hingga aku terus berada dalam gelap untuk mengusirmu. Walau terus berurai air mata tak mampu sesak ini menepis semua kenangan masa lalu. Gelapku pun kian pekat mas, hanya untuk menghindarimu.

Masih jelas diingatanku mas, masihkah pula tersangkut dalam benak memorimu? Ahh... mungkin tidak, mungkin kau hanya akan menertawakan perasaan sentimentilku ini. Tapi kau juga harus ingat mas, waktu telah mencuri kisah yang telah kita tumbuhkan bersama.

Ingatkah kau, Pohon jambu tempat dimana kita biasa manjat dan berpura-pura sedang berkendara sepeda motor, kau didepan dan aku membonceng dibelakang? Meskipun pohon jambu itu kini berada terus disampingmu, dan bukan aku, maka biarlah memori itu menemanimu. Warna hitam celana pendekmu dengan garis abu-abu masih tergambar jelas diingatanku, juga kaos singlet yang kaukenakan dulu. Ibumu marah ketika menyuruhmu yang sulit makan tiap siang, padahal kau selalu menemaniku makan mendoan kesukaanku. Kaupun tak pernah mengeluh ketika setiap kali tubuhku yang montok ini menaiki pundakmu minta digendong. Ingatkah kau betapa manjanya aku dulu.

Iya, mas kau ingat betapa aku sangat manja padamu, karna hanya kamu yang aku miliki. Betapa aku hanya mau tidur siang bila bersamamu, betapa aku terus merengek agar kau tidak berangkat sekolah hanya untuk menemaniku bermain, betapa kini batu yang biasa kita jadikan sandaran lelah telah menjadi tampak begitu kecil kududuki kini.

Kau bisa dengan setulusnya mengerti jiwaku, yang kala itu sedang kesepian, kala ibuku bekerja di Jakarta dan ayahku entah dimana. Selain mbah putri dan mbah kakung, kaulah pelindung sejatiku. Waktu memang telah mencuri kisah yang kita tumbuhkan bersama. Mungkin lagi-lagi kau akan menertawaiku, tapi apakah bisa mas? Apakah kau masih akan terus mengerti aku?

Mas, maaf aku tak lagi bisa mnegunjungimu, bunga yang aku taburkan diatas pusaramu mungkin tak lagi tersisa tapi jejak-jejak tiap langkahmu masih saja membekas. Mas, sudah duabelas tahun lamanya, tapi kau masih saja hidup bagiku, kau masih tinggal disini. Seseorang pernah bilang padaku kala itu, mas Adhit mu tidak akan pernah mati selama kau masih terus mengenangnya. Dan benar saja mas, kau tak pernah mati bagiku. Dalam ingatanku kau masih saja seorang anak berusia 10 tahun. Kau pergi begitu cepat kala belum genap kamu 14 dan aku yang tak ada disampingmu kala itu. Aku menjelma urban sialan di kota kecil penuh debu dan papan reklame.

Tahukah kau mas, kau adalah liyan sejatiku, sahabatku, cinta pertamaku, lelakiku. Bagiku kau memang belum pergi. Tapi kini tinggalkanlah aku mas, tinggalkan aku dan biarlah terang menghampiriku. Aku ingin Matahariku, bukan gelap yang selalu menemaniku untuk sembunyi darimu.

Biarlah hanya itu yang tersisa darimu, sepenggal kisah yang kelamaan terkikis oleh waktu. Kini aku bersamanya mas, seseorang dari masa kini yang membawaku keluar dari kegelapan, seseorang yang membawa cahaya. Kau memang berarti bagiku, tapi sungguh ia yang aku dambakan. Pergilah mas.

Terimakasih telah menjadi orang pertama yang mengerti dan mnecintaiku dengan polos.
Selamat Ulang tahun mas...

Comments

me said…
mas adit itu siapa ka?
cinta pertama di masa kecil yah?
lucu!!!

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu