Skip to main content

Beauty of Chaos

Saya selalu merasa saya hidup teratur dan serba direncanakan, tak pernah alpa saya mengorganise hal-hal apa saja yang akan saya lakukan keesokan harinya dan tak pernah luput pula saya mencatat dalam buku harian saya sebelum saya tidur apa-apa saja yang saya lakukan pada hari itu. Jam dan alarmnya menjadi alunan musik yang selalu terngiang ditelinga saya. Catatan schedule dan diary menjadi sahabat sejati saya.

Tidak hanya itu, benda-benda disekeliling saya, saya atur dengan rapi, novel-novel ataupun komik saya susun berdasarkan abjad penulis maupun nomer seri nya. Pakaian dalam drawer saya tumpuk berdasarkan kromatik warna pelangi.

Hmmm.... terdengar membosankan dan kaku ya??? Tapi itu dulu. Sebelum saya mengenal 'chaos' dan seorang yang begitu chaotic yang berhasil mencemplungkan saya dalam sebuah hidup yang chaos tapi penuh dengan debar namun mengasyikkan. Seseorang yang mengajarkan bahwa untuk menciptakan sebuah order maka kita sebagai manusia harus melalui sebuah tahap yang begitu chaos, dan bahwa di dalam diri manusia bersemayam dua sisi; Appolonian dan juga Dionysian. Dan bahwa seekor katak tidak merasa bersiap-siap sebelum melompat, lompatan itu sudah ada dalam dirinya, ancang-ancang itu tidak ada dalam kosakatanya.

Saya baru menyadari ternyata ada yang indah dari kekacauan
. Ada yang menarik dari sesuatu yang abstrak yang tidak bisa saya pahami dengan logika maupun rasio, yang tidak bisa diperkirakan atau diukur. Sesuatu yang membuat saya enggan untuk mendayung sampan, dan membiarkan segalanya berlalu sesuai dengan laju arus. Akhirnya saya hidup tanpa rencana. Suatu hal yang membuat saya sungguh-sungguh ‘hidup’ dan memandang waktu beserta segala hak kemisteriusannya adalah sesuatu yang menarik.

Saya tidak lagi mau terikat dengan alarm dan jadwal-jadwal harian yang terkadang mess-up dan membuat saya kesal, saya membiarkan saja novel-novel maupun komik yang saya baca tertumpuk tanpa susunan abjad maupun seri yang benar karena dengan begitu akan tampak lebih berwarna-warni, saya tidak suka lagi memikirkan hari esok, tidak suka berlarut-larut memikirkan derita hari ini, karena segalanya selalu berubah.


Saya menyadari pada akhirnya, saya merasa takut dengan keteraturan. Bila segalanya sudah saya perhitungkan, menilik neraca untung-rugi, menabulasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada, lantas, tidak ada lagi yang mendebarkan dari hidup.


Saya selalu berpikir bahwa saya harus produktif sebagai manusia, itu rencana saya. Tapi di dalam proses memaksa diri menjadi produktif, saya merampas hak diri saya dari pentingnya untuk selalu bersuka ria, menikmati pengejaran dan pencapaian. Saya tidak ingin waktu saya habis untuk merencanakan sesuatu, dan melewati kejadian yang sesungguhnya.


Saya mengutip perkataan Dr. Salovey, seorang psikolog dari Yale yang saya dapatkan ketika browsing di internet, Ia berkata, “kita menyukai seseorang karena setitik blunder di dalam diri orang tersebut.” Kita menyukai seseorang karena kelemahannya, karena kekurangannya, setitik kekacauan yang tersimpan di dalam wajah mereka. Saya sangat meyakini itu.


We are messy… right? Ada sesuatu yang eksotik di balik ‘chaos’. Perasaan yang mentah, yang hanya kita rasakan ketika kita berdiri di depan sesuatu yang tidak kita ketahui, tetapi begitu menarik dan mempesona. Don’t you think chaos is fascinating?

Comments

me said…
i am the chaos one and i wants to run away from this situation, because i think if i never organize something I'll never learn about how to prepare something. if i am usual with this situation I'll always chaos and looks so bad. .
..Alzahera.. said…
Aku merasa klo aku orangnya g chaos bget dan itu membuat aku cape karena aku harus selalu hidup teratur dan aku susah untuk menjadi chaos.
Dessy Aster said…
Someone had ever said that 'Letting everything flow means chaotic, growing hope n expectation means order.'

Jadi ada sisi Chaos dan Order dalam diri kita, gitu deh kira-kira lagipula untuk menciptakan suatu order, kadang kita melewati tahap yang begitu chaos. begitupun sebaliknya terlalu seringnya order membuat pikiran n hidup kita menjadi begitu terrible chaoticnya

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu