Skip to main content

Pujangga dan Khayalan...

Pujangga, mengimitasi segala imitasi, begitulah kata Plato, semuanya hanyalah pencitraan, mimesis, bukan kenyataan. Dia bagai seorang pujangga bagiku, dia yang selalu duduk tepat disatu garis horizontal, dihadapanku, mimesis baginya adalah interpretasi, menakar pencitraan yang tak terjangkau. Pernah suatu ketika, pada kesempatan dimana kami dipertemukan untuk bertukar pikiran, ia mengungkapkan padaku tentang langit yang begitu hitam sampai batasnya dengan bumi hilang, karena bintang dan lampu-lampu kota bersatu, seolah-olah berada pada satu bidang. Manusia hanya bisa menginterpretasikan itu semua, katanya dan semua itu adalah citra sang Maha. Dia pujanggaku, dia dianugerahi kemampuan untuk menginterpretasikannya dengan tepat, memimesis dengan sempurna, meski terkadang terdengar irasional, namun akan selalu indah ditelingaku. Itulah salah satu cara agar aku bisa mengerti bahasa Tuhan, tambahnya lagi. Namun aku, aku tidak sepertimu, ujarku pada kesempatan itu, saat mata kami bertemu dan juga saling berbicara, bicara antarmata. Bahasa mata. Aku bukan pujangga sepertimu dan aku tak pernah bisa bermetafora. Kau begitu polikromatik sedangkan aku monoton dan kurang dimensi, aku terlahir praktis dan realistis. Dengan segenap rasio dan akal sehatku, aku mencintaimu, bicara mataku. Sayangku, tak perlu aku bermetafora untukku menyatakan bahwa akupun mencintaimu, begitulah yang kuterjemahkan dari matanya.

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu