Skip to main content

Kami yang Menginap di Lab

Kalian lihat gambar gadis di sebelah ini? biar ku perkenalkan...
Namanya Intan Keumalasari, namun itu beberapa hari yang lalu, sekarang telah berubah menjadi....(akan kuberitahu nanti).
Lalu perhatikan dengan seksama gambar tersebut. Di hadapannya, sebuah layar komputer yang menyala, headset, handphone, buku, dan bibir yang manyun menghiasi wajahnya yang saat itu sangat sulit untuk disebut manis.

Kalian tahu apa yang sedang dilakukannya?

Hampir benar kalau kalian menjawab dia sedang SERIUS mengerjakan tugas kuliah atau mengerjakan skripsi. Namun tidak seSERIUS yang kalian lihat. Dia sedang meratapi nasibnya yang menurutnya amat malang pada saat itu. Dia berpikir, seharusnya malam itu dihabiskannya tertawa konyol menyimak si lucu .... atau sitampan bloon ... dalam serial favoritnya "Boys before Flowers". Namun malam itu dia harus bergelut dengan nasibnya sendiri ditemani buku-buku teori pascakolonial, suasana lab bahasa yang dipenuhi nyamuk-nyamuk yang mempunyai DNA sarupa dengan drakula, bergelas-gelas minuman bermaterikan kafein dan temannya yang baik hati yaitu aku (hihihi).

Dia memang sedang mengerjakan skripsi, yang thesis statementnya hampir tiga kali diganti. Saat itu adalah minggu-minggu terakhir deadline skripsinya dan juga minggu terberat dalam sejarah hidupnya, banyak sekali cobaan yang harus ia lalui: dimulai dari monitor komputernya yang berbau hangus, berasap, dan kemudian meledak hanya karena kabelnya digerogoti tikus-tikus mungil peliharaannya yang selalu lupa ia kasih makan. Lalu berlanjut dengan pembimbingnya yang super SADIS (katanya... hihi) yang tak pernah mengerti bahasa skripsinya yang mengharuskan ia merevisi berkali-kali (MURI telah mencatat rekor 10 kali revisinya hanya untuk BAB 1). Itulah yang mengharuskannya bermalam di lab bahasa kami tercinta hanya demi mengubah nama belakangnya menjadi Intan Keumalasari, S.S.

Dan yang di samping kirinya ini adalah aku, gambar ini diambil saat pagi menjelang, pagi di halaman kampus kami tertacin (agak janggal dengan kata tercinta hihihi). Pagi itu adalah pagi pertama yang kami lalui bersama setelah malamnya kami sama sekali tidak tidur. Coba kalian perhatikan wajah Intan Keumalasari, S.S. pasti selalu ada yang salah dengan wajahnya, kali ini lihat lagi bibirnya. Bibirnya yang lagi-lagi tak pernah normal dalam gambar ini merepresentasikan (menunnjukkan mungkin lebih tepatnya) bau mulutnya yang belum sikat gigi sejak hari sebelumnya. Kalian bisa kan membayangkan bagaimana penderitaanku yang saat itu berdiri di sampingnya??? Juga jangan kalian lewatkan matanya. Perrhatikan daerah di bawah matanya, ada lingkaran hitam yang mengelilingi matanya yang sangat berdosa sekali jika kusebut itu indah.

Itulah hari-hari yang kami lewati demi sebuah gelar SS saudara saudara! Dan tanggal satu kemarin kami akhirnya sidaaaang. U know what??? Kami berdua kum laud looooh. Senangnya bukan main. Tapi setelah itu, dunia pun akan mencatat dalam statistiknya bahwa bertambah lagi dua pengangguran di Indonesiah hahaha. Semoga nganggurnya tak lama yaaah.


-Lab Sastra 4 Agustus 2009-


Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu