Skip to main content

What a Bigotry

Lihatlah warna pelangi sehabis hujan, indah bukan? Pelangi indah karena mempunyai warna-warna yang berbeda, menyatu meski polikromatik. Begitulah seharusnya hidup, penuh dengan perbedaan. Juga bagi saya, hidup adalah bagaimana kita berhadapan dengan perbedaan. Perbedaan agama, ras, golongan, budaya, gender, dan lain sebagainya. Dan janganlah malu jika harus mengakui bahwa kita berbeda, dan jangan pula melihat perbedaan tersebut sebagai penghalang.

Seperti warna pelangi itu, perbedaan seharusnya kita lihat sebagai suatu anugerah yang Tuhan berikan kepada makhluk-Nya, sesuatu yang seharusnya disyukuri dan dinikmati untuk kemaslahatan bersama, saling melengkapi, bukan sebagai sarana untuk saling membenci, karena sungguh, yang seperti itulah yang justru kufur terhadap nikmat Tuhan.

Kita memang tersusun dari komponen-komponen yang berbeda, lantas ada pertanyaan muncul. Mana yang lebih baik dari yang lain, mana yang lebih benar dari yang lain dan sebagainya. Suatu kebodohan dari pikiran yang sangat dangkal jika kita menganggap bahwa kitalah yang paling baik dan benar. Kebenaran hanyalah milik Tuhan semata. Saya teringat sebuah novel Ayu Utami yang pernah saya baca, dalam novel itu saya menafsirkan bahwa kebenaran hanyalah milik Tuhan, kebenaran hanya ada di langit, ia tak pernah ada dan jangan sampai berada jatuh ke bumi. Karena jika itu terjadi, maka kebenaran akan muncul sebagai sebuah ketamakan, kekuasaan, dan hasrat untuk mendominasi. Seperti sebuah bigotry (maaf saya menggunakan istilah dalam bahasa Inggris), suatu sikap fanatik yang sempit dan berlebih-lebihan yang menganggap bahwa golongannya, budayanya, agamanya, pendapatnya adalah yang paling benar, yang lainnya adalah dosa dan kesalahan.

Kasus bigotry baru-baru ini yang sedang hangat dibicarakan diseluruh dunia, hingga mendapat kecaman mulai dari Barack Obama hingga SBY, yaitu ulah pendeta kelahiran Wales, UK bernama Terry Jones yang ingin mengadakan hari membakar Quran sedunia. Isu yang santer berhembus hingga menjadi Trending Topic jejaring sosial Twitter inipun menyentil sastrawan Indonesia, Goenawan Mohammad untuk berkicau di jejaring tersebut. Ia berpendapat bahwa Terry Jones tersebut adalah bigot, ia telah begitu fanatic membenci iman lain. Bigot, si fanatic yang benci orang beragama lain sering merasa dirinya adalah yang paling benar, yang juga menganggap dirinya sebagai wakil utama dari umatnya di dunia yang penuh dengan perbedaan.

Di dunia yang penduduknya mempunyai bermacam-macam agama, bigotry adalah sebuah penyakit, yang bisa muncul di semua agama tersebut. Sebut saja di dunia Kristen Eropa, yang pernah menimbulkan perang agama selama 30 tahun, juga di India, orang-orang fundamentalis Hindu membakar masjid dan membunuh orang Islam, atau yang baru saja terjadi, kecaman warna Amerika terhadap pembangunan mesjid di Ground Zero, yang letaknya tak jauh dari peristiwa 9/11. Di Indonesia pun sebenarnya tak kalah sengitnya, ormas islam FPI merusak tempat ibadah Ahmadiyah juga Gereja HKBP Bekasi pada Agustus 2010.

Bigotry, menurut Goenawan Mohamad, telah membuat kecewa orang yang mengharap agama jadi pembawa rahmat bagi kehidupan, bukan kerusakan. Miris ya? Saya pun demikian, sejak kecil saya di dogma bahwa agama adalah penyejuk dari kedisorientasian manusia, sebuah pengatur hubungan vertical-horisontal manusia juga penawar dari tindakan barbarism atau jahiliyah manusia dari sifat ketidakperikemanusiaannya, namun sekarang lihatlah.

Para bigot itu membuat agama seperti kartu seluler, masing-masing beradu siapa yang paling efisien dan paling hemat, beriklan dengan bersikeras menganggap kartunya yang terbaik, menghina yang lain dengan nista, dan menjadikan Tuhan sebagai bisnismen, orang penting yangpunya bayak telepon untuk dihubungi.

Kebenaran tak ada di bumi, kebenaran adalah Tuhan. Ada satu. Namun Dia mempunyai wewenang sendiri untuk menyampaikan kebenaran itu, seperti yang tercantum dalam Quran Surat Al-Baqoroh 269
"Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal." Hal ini mengisyaratkan bahwa kebenaran adalah kemisteriusan-Nya, kebijakan yang Dia tanam dengan cara yang misterius pula. Alangkah baiknya, jika kita melihat perbedaan ini seperti melihat sebuah pelangi, sebuah anugerah hingga kita bisa berlapang dada serta belajar bijak dari manapun sumbernya selama ia mendekatkan pada kebaikan.

Comments

jiebman said…
walaupun begitu, kebenaran bukan tak mampu terlihat dengan tanda-tandanya dan hanya orang-orang tertentu yang mampu melihatnya (al-baqarah:269). menghormati lain agama itu hal yang benar tapi satu hal yang cukup menakutkan adalah mengakui kebenaran agama lain, karena mengakui kebenaran agama lain berarti meragukan kebenaran agama sendiri.
Daun Lontar said…
Mengakui kebenaran agama dan tuhan lain adalah salah, itu adalah prinsip yg sangat fundamental namun tidak ada salahnya dan memang sudah seharusnya kita mengakui KEBERADAAN agama lain tanpa harus ada saling benci, menistakan agama lain dsb. Dalam hal ini sbnarnya yg ingin saya sampaikan adalah bhwa kita jgn menganggap bhwa diri kita lah yg paling benar.

Dez
jiebman said…
ya, anggapan kitalah yang paling benar itu salah, meyakini agama kita adalah satu2nya yang benar itu yag harus.
Dessy Aster said…
Iya tapi kan gak harus memaksakan orang lain untuk itu

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu