Skip to main content

#Day5 : Jangan!


Jangan! 
Pokoknya jangan!
Jangan buat aku terbiasa seperti ini.
Jangan buat aku terbiasa selalu menghitung.
Karena aku sudah mulai menghitung. Dan akan sulit untukku berhenti.
Aku menghitungnya dalam menit. Sekarang mungkin sudah menit  ke empat ratus lima puluh lima ribu empat puluh dengan ratusribuan irisan detik.

Lalu kamu...?
Kamu menghitungnya dengan apa?  
Dengan tiap cangkir kopi yang kau reguk saat dedaunan di balik jendela kamarmu mengeluarkan frost, karena suhu yang begitu rendahnya?
Atau kamu menghitungnya bersama tiap hisapan dji sam soe terakhir yang kamu irit ketika rindu kian memberat?

Setiap pesan yang kamu kirim membuat aku selalu ingin mengingatkanmu untuk menghitungnya lagi.
Tapi maksud aku bukan itu. 
Pokoknya jangan menghitung!
Menghitungnya hanya akan membuat linimasa kita penuh dengan penantian bahwa semesta akan benar-benar menggelar perhelatan yang besar. Nanti.
Padahal hanya sesederhana yang orang pikirkan.
Sesederhana jarak dua pasang jejak yang belum terlalui.
Sesederhana kokok ayam jantan yang aku dengar tiap pagi.
Sesederhana rubah-rubah berlompatan.
Sesederhana bahagia yang melarut di antara senyum kita yang pekat.
Sesederhana pergi dan kembali.

Jangan...
Jangan selalu menghitung. 

Dan jangan...
Jangan pernah kamu baca tulisan aku ini.

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu