Skip to main content

I Think I Need a Sanctuary

Well, coretan ini hanya sekedar luapan hati saya di hari yang biasa. Selasa, 20 April 2010 tepatnya....

Saya bangun pagi seperti biasanya, tidak sholat karena saya sedang berhalangan. Saya seperti diinjak di dada dan dihantam di kepala, berat rasanya untuk bangun tadi pagi. Entah kenapa saya merasa bahwa 18 jam kedepan adalah waktu yang buruk yang akan saya lewati.

Sugesti saat bangun tidur mungkin.

Tapi memang benar, hari saya ini menjadi sangat buruk. Saya seperti kelabu lagi, pucat, tak ada senyum ketika saya melihat refleksi diri saya dalam cermin sebelum berangkat kerja. Jelek sekali, kuyu.

Diperjalanan menuju tempat kerja (dibonceng motor), saya ditemani lagunya Fine Frenzy, Almost Lover yang mengalun via earphone selama emapat menit.
Goodbye my Almost Lover, Goodbye my hopeless dream, I'm trying not to think about you... Can't you just let me be?..
I can't go to the ocean, I cannot try the street at night, I cannot wake up in the morning without you on my mind.
So you're gone and I'm haunted, and I bet you were just fine...
Did I make it that easy to walk right in and out of my life...

Bertambahlah perasaan mellow saya selama empat menit itu, dan lagunya menyentak saya sangat dalam dan saya pun menangis... Entah menangisi apa.
Tapi saya menangis. saya tak bisa menahan air yang keluar lumayan deras dari mata saya yang berhasil melunturkan bedak saya. Ternyata...

TAKUT!!!!

Takutlah yang saya rasakan saat itu, takut dan depressed. Saya takut ditinggalkan cahaya, saya takut kembali ke masa dulu, dimana saya tenggelam dalam gelap, merunduk, diam dipojok ruangan, menggeliat, dan lenyap. Saya takut.

Saya merasa tak tahu lagi kemana harus berjalan jika cahaya itu redup, saya tak tahu lagi kemana harus bersandar ketika saya menangis, saya takut, dan sayapun menangis. Saya ingin ada yang memeluk saya saat itu, bahkan saat saya menuliskan ini, saya ingin ada seorang yang berkata bahwa, "you don't have to worry, I won't let you go"

Saya merindukan hangatnya kata-kata itu, itulah yang membuat saya menangis, tadi pagi, maupun sekarang. Jujur, saya takut sendiri. Dan di saat-saat inilah saya merasa sendiri, tak ada teman untuk saya melenguhkan keluh, hanya kertas-kertas bodoh dan pulpen idiot yang rela saya perlakukan dengan kasar untuk melampiaskan perasaan ini. Damn! Saya tak pernah secengeng ini untuk alasan yang amat sangat tidak jelas.

Dan yang saya butuhkan saat ini adalah tempat yang bisa mendamaikan hati saya, tempat yang bisa meredam pikiran-pikiran negatif yang keluar dari otak saya. Saya butuh semacam Sanctuary, saya butuh Save Haven.

Tapi dimana?.............

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu