Skip to main content

Pada Suatu Pagi (colaborated with Mujib)

Ketika pagi datang...
Rindu rasanya menulis lagi. Dibawah rindangnya pohon mangga, ditemani puluhan kepompong ulat hijau diantara permukaan daunnya yang sedikit mencairkan inspirasi. Pada alam pagi yang terlalu dini berbenah, ingin kutuangkan lagi tetes-tetes kata dalam dinginnya udara yang bercampur gas karbon monoksida.
Apa kabar duniaku??
Saat ini akan menjadi masalalu pada dua, tiga, satu, atau empat puluh tahun lagi, bahkan satu detik yang baru saja terlewatkan tak kan bisa terganti dan terulang.

Masa lalu dan kenangan...
Selalu ada getar aneh menyelimuti diri untuk mengingat lagi yang telah lalu... Apapun itu bagiku bagai mimpi dan misteri yang bergentayangan di otak, mirip fantasi yang terpatri dibatasi ruang dan waktu.

Sedangkan kenangan...
Terbuat dari apakah kenangan?
Dari masa ke masa aku masih saja bertanya-tanya. Mengapa kenangan seringkali terpendam begitu lama dan muncul begitu saja pada waktu dan tempat yang tidak pernah terduga.
Kenangan kadang tidak selalu utuh, seperti terpotong-potong, sepotong jalan, sepenggal halaman kota, senyum yang manis, langit yang biru dan dedaunan yang hijau dan yang kuning kecoklatan beterbangan dihempas angin. Namun kadang bisa begitu utuh, ketika menikam langsung kedalam hati, perih bagai tertusuk, dan terasa seperti pahit. Bisakah kenangan yang pahit berubah menjadi sesuatu yang manis?

Kenangan seperti diciptakan kembali oleh waktu, membuat masa lalu tidak pernah berlalu.
Aku mempunyai kenangan. Kenangan yang muncul kembali, tepat bagai deja vu, yang selalu menjdi nyata bagai sebuah suara. Suara kecil yang memanggilku.
"Mas...!"
Untuk kesekian kalinya panggilan itu aku dengar, pada pagi hari saat ku berangkat kuliah, panggilan yang diikuti sepotong senyuman dari seorang anak lelaki seumuran SMP, berbaju lusuh seperti pengemis. Dan untuk kesekian kalinya pula aku tak mengacuhkannya. Karena setiap kali suaranya dihembuskan angin perlahan dan sampai ketelingaku, setiap itu juga ia menghancurkan istana khayalanku yang sedang ku bangun sejak langkah pertama kaki ku berayun dari pintu kost-an ku. Dan setiap itu juga angin yang menghembuskan suaranya hingga sampai ke telingaku, membuatku mengingat lagi segalanya.
Suara itu mengembalikan suatu masa yang telah berlalu.


Lalu bagaimana suatu masa yang telah berlalu bisa kembali lagi dan mengembalikan suasana yang sama seperti ketika aku mengalaminya, aku sama sekali tak bisa mengerti. Dan suara anak itu, masih terngiang ditelingaku karena angin begitu perlahan menghembuskannya ke gendang telingaku.

Pada keesokkannya, masih pada pagi yang selalu dini berbenah, saat kubuka pintu kamarku dan bersiap-siap berangkat kuliah aku sengaja tak membangun istana megah khayalanku yang nantinya seperti biasa akan kutuangkan dalam tetesan kata dibawah pohon mangga pada halaman kampusku. Aku sengaja tak membangun istana itu, karena sepenggal kenangan itu, aku tahu suara anak itu akan memanggilku setiap kali aku melewati jalan itu dan akan meruntuhkan segalanya.

Kuberjalan sambil menundukkan kepalaku, berharap ia tak memanggilku dan akupun tak lagi terjebak dalam kenangan itu. Saat ku melewati jalan biasa itu, tempat ia biasa memanggilku, akupun lega, tidak ada angin yang menghembuskan suaranya ketelingaku, karena tak ada sumber suara itu, tak ada anak itu disitu.
Tapi.
"Mas..!"
Haduh ternyata suara itu lagi, panggilan itu lagi. Ternyata angin masih saja menghembuskan suara pembawa kenangan itu. Aku tak mau terjebak dalam masa lalu.
Kupercepat langkahku dan tak menghiraukannya.

"Mas, mas Mujib, tunggu sebentar!" Deg. Aku berhenti sejenak. Bagaimana ia bisa tahu namaku?
""Mas Mujib ini dompetnya," ku menatap anak itu, sepotong senyumnya masih melekat pada wajahnya yang tirus menyodorkan benda segi empat berwarna coklat padaku, dompetku. Ternyata dari dompetku ia mengenaliku dan memanggilku dengan suaranya itu.
"Tiga hari yang lalu dompet Mas jatuh disini." Suaranya bergetar bagai suara yang ku ingat dalam brankas kenanganku.
Dompetku, pantas saja. Tiga hari ini aku terpaksa hutang pada temanku agar bisa kuisi perutku karena dompet ini mempertemukanku pada suara itu.

"Makasih ya.." Ku buka dompetku, ternyata isinya masih utuh.
"Ini buat kamu," Ku keluarkan satu lembar uang limaribuan padanya.
"Gak mas, aku gak mau itu, ehmm tapi boleh kuminta yang lain gak?" katanya agak sedikit ragu. Minta yang lain? Duh apa ya, pikirku karena aku hanya bisa memberi itu sebagai rasa terimakasihku.

"Aku cuma minta satu, kalo mas gak keberatan, setiap kali mas Mujib berangkat kuliah, lewat sini terus ya mas, janganlewat jalan lain." Pintanya, merupakan suatu yang sederhana namun...
Tapi aku mengiyakannya walau aku harus rela meruntuhkan istana khayalan yang tiap pagi kubangun dalam otakku.

Pada pagi hari pertama setelah kejadian itu, lalu pagi hari kedua, ketiga, dan pagi-pagi seterusnya aku mulai terbiasa dengan kebiasaan baruku yang menurutku agak aneh, mencoba sedikit tersenyum saat lewat didepannya setelah ia memanggilku dan menyerahkan sepotong senyumnya padaku yang selalu saja terlihat getir dalam pandanganku.

Masa satu minggu kebiasaan baruku pun berlalu, tak kujumpai lagi ia, duduk ditempat biasanya, memanggilku dengan senyum getirnya dan membawaku pada kenangan yang entah apa dan menghinggapiku pada perasaan yang abu-abu. Kemana ia?
Pada pagi-pagi berikutnya pun masih tak kutemui dia.

"Mas, Mas Mujib!" Panggilan itu akhirnya kudengar lagi, namun tidak dari suara yang sama yang membawaku pada sebuah masa lalu yang masih kelabu dalam ingatanku. Bukan suara anak itu yang kudengar tetapi suara seorang bapak paruh baya yang kemudian menghampiriku.
"Maaf mas, Mas ini benar mas Mujib kan?" Tanyanya.
"Iya, benar Pak, Bapak ini siapa ya?" Aku balik bertanya.
Ia hanya memberikanku secari kertas yang terlipat dan mulai agak lecek. Bapak itu hanya menyampaikan kalau kertas itu adalah surat dari anak kecil yang menemukan dompetku pada suatu pagi beberapa minggu yang lalu. Bapak itu menyampaikan juga berita yang membuatku bergetar miris. Sebuah berita bahwa anak itu kini telah tiada, tewas pada suatu pagi tertabrak mobil dan Bapak itulah yang menabraknya.

Kubuka lipatan kertas itu dan kubaca perlahan.

"Aku duduk lalu berdiri disaat hujan juga saat matahari dengan teriknya menyengat hari-hariku. Aku mencoba untuk tetap bertahan disini walau tak ada yang peduli. Aku suka melihatmu berlari. Aku ingin seperti itu, sepertimu yang terus berlari seolah masa depan dapat dengan mudah kau raih dalam ayunan langkah larimu. Tapi mustahil bagiku karena hidupku hanya disini. Statis, tak dapat berlari sepertimu. Terimakasih kau telah melihatku, menatapku, tersenyum padaku, karena itu artinya kau telah memberiku separuh semangat hidupku. Ku tak berharap kau pun jua duduk lalu berdiri saat hujan membasahiku atau matahari menyengatku. Kau yang telah tersenyum kepadaku, mau menatapku it semua lebih dari cukup bagiku.
Terimakasih."


Muqsit.

Akupun terenyuh dan menangis. yang membuatku semakin teriris, saat ku tahu bahwa namanya adalah Muqsit, Pantas saja nama itu dan suaranya membawaku dalam sebuah kenangan, ingatan tentang adikku yang juga bernama Muqsit yang meninggal 8 tahun yang lalu pada suatu pagi dalam pelukkanku dan kata lembut terkhirnya yang memanggilku "Mas".

***

Comments

Jieb said…
Glad to collaborate with you... I hope there will be the next....!!!!

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu