Skip to main content

Kabut yang selalu Abu-abu

Pada dini hari yang bening dan sepi, hanya terdengar detak jarum jam memutar pada rangkaian detik-detik perputaran bumi. Pada dini hari yang bening dan sepi, masih terdengar embusan nafas lelah para pekerja pada tidurnya yang lelap. Tapi aku masih terjaga. mungkin menunggu pagi, mungkin menemani sunyi yang selalu sendiri, mungkin memikirkannya. Aku memikirkannya. Memikrkan kenapa ia selalu bertanya kenapa. Pada setiap langkah yang kuambil, pada setiap keputusan yang kubuat, dan pada setiap kenyataan yang harus sama-sama kita hadapi. Selalu ia bertanya "kenapa?" dengan banyak tanda tanya besar dalam nada suaranya.

Kau tahu? Aku bingung alasan dan jawaban dari setiap ke-kenapa-an yang selalu ia permasalahkan. Aku terus mencari jawaban dari setiap pertanyaan kenapa yang ia pertanyakan. Pada diriku aku bertanya. Apakah
kenapa harus ada alasan kenapa? Tidak bisakah hanya ketidaktahuan yang aku perwujudkan? Pada dini hari yang masih bening dan sepi aku mencoba sebuah narasi untuk menjawab ke-kenapa-an bodoh yang selalu ia pertanyakan.

Bagiku semuanya seperti kabut yang begitu abu-abu. "Pada mulanya adalah kabut, yang berpendar, memunculkan hutan bambu. Sejak kecila ku suka menatap kabut, yang memberikan dunia kelabu, basah dan berembun, Kabut yang bagaikan menyimpan rahasia di baliknya. Rahasia yang tiada akan pernah dan tidak perlu terungkap, karena hanya jika kabut menjanjikan sesuatau seperti rahasia maka aku akan bisa mengembara di dalamnya.

Aku selalu membutuhkan kabut, selalu membutuhkan rahasia yang membuat aku bertanya-tanya dan mencari dengan gelisah dalam kabut. Maka sebaiknya kabut menjadi sebuah dunia yang tiada terdapat dalam dunia nyata dengan segala rahasia di dalamnya. Biarlah kabut itu untukku, biarlah rahasia itu untukku dan hanya untukku, supaya aku memiliki sesuatu yang seolah-olah memang diciptakan hanya untukku. Biarkanlah kabut itu tetap saja begitu, seperti puisi yang penuh misteri yang setipa kali dibaca kembali akan menjadi baru.

Pada mulanya memang kabut dan selalu akan menjadi kabut, kabut, kabut, dan kabut yang kekelabuannya tiada pernah dan tidak perlu memberikan sesuatu yang jelas" (SGA, Kalatidha) Dan hanya itulah jawaban dari aku yang memang dan mungkin akan selalu abu-abu. Itulah aku. Cobalah... "Rasakan semua, demikian pinta hati, ini amarah atau asmara? Kasih atau pedih? Segalanya akan indah jika memang tepat pada waktunya. Dan inilah aku pada dini hari yang hening, bening dan sepi, apa adanya..." (Dee, rectoverso)

--Selamat Tinggal--

Comments

Anonymous said…
what happen with " kabut" ? kabut emang samar tapi kesamarannya dari apa ya? sama ga sih ma bayangan- bayangan yang tak jelas??? Duch bingung ney, comment'a jadi apa ya????????
Anonymous said…
pokok'a kesamaran makes me confuse dech......! hehehehehehe.......
Anonymous said…
Ktika kabut itu membwa sbuah obat untk luka yg sudah membusuk dhati, sbuah luka yg takkan pnah pulih spt sdia kala.
Sbuah obat yg membuat qt melupakan rasa sakit yg ad. Izinkan aq masuk kdalam dunia kabut yg penuh akan misteri dan belum tentu bertepi! Agar aq lupa akan luka ku karena aq tngah sbuk dgn misteri yg bergelayut dsekitar q hingga aq tak ingin kembali lg kdunia dmana rasa sakit itu kan dtg lg!
By: tguh dfrogprince
Deasy said…
Kabut hanya menyediakan sesuatu yg samar2, yg juga abu-abu, seperti puisi, seperti misteri yg jika berpendar maka bukan misteri lg.
Aku menjaga kabut hanya tetap untukku yg dibalik kekelabuannya tak akan pernah ingin ku tahu.

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu