Skip to main content

Perjalanan Embun dan Pagi

Pagi muncul seperti biasa disambut ritual ayam-ayam yang berkokok, para prenjak yang berjingkat bersiulan, bunga-bunga terompet ungu dan anyelir putih yang baru saja bermekaran mengundang tarian kupu-kupu di sekelilingnya.

Parade pagi yang indah.

Di ujung sana setetes Embun baru, bertengger pada tepi daun bunga melati, tidak berwarna, namun berkelip indah bagai intan berlian, memberikan kesegaran bagi tiap-tiap nyawa yang disinggahinya. Ia memerhatikan takjub dunia yang menghampar di depannya. 

Parade pagi yang indah.

Apakah pagi selalu indah seperti ini? Tanyanya.

Ya, aku selalu indah seperti ini, segar, sejuk, damai, karena kamu. Pagi menyahut.

Setetes Embun yang bertengger di tepi daun bunga melati tersenyum. Tanpa ia sadari Pagi sedari tadi memandangnya menari gemulai membasahi dedaunan. Pagi berkilauan. Dunia baru muncul. Mulai berbenah menyambut hari yang akan segera datang. Pagi berterima kasih pada tetes-tetes Embun yang membuatnya berkilauan. 

Aku jatuh cinta padamu, wahai Embun. 

Aku?

Ya, Embun tak butuh warna agar Pagi jatuh cinta padanya. Tiap tetesnya memberi kedamaian, kesegaran dan ketenangan yang sederhana. Membuat segala yang hidup terasa semakin bernyawa.

Pagi dan Embun bercengkrama membuat segalanya indah. Namun...

Perlahan, kabut tersingkap, berpendar oleh sinar matahari. Sinar itu. Panas itu menyentuh tubuh kecil Embun. Tubuhnya terasa ringan sangat. Ia melayang, tubuhnya melawan gravitasi, dan terus melayang, meninggalkan Pagi membentuk kumpulan awan.

Pagiiii... Tolong aku! Embun masih melayang, jauh... 
Menguap...
Hilang bersama angin.

Tak berbekas.

Jangan khawatir Bun, kita akan berjumpa lagi. Bisik Pagi.

Tak ada lagi Embun, Pagi pun mati suri. Hari telah bergulir.

Siang naik dalam sekejap, dunia terlipat dalam kesibukannya. Terang menggelayuti. Laut, gunung, kampung, taman, kota, orang-orang, semua sibuk mengejar waktu seolah siang akan cepat berlalu. Tak ada satu pun... Satu pun.. Yang mengingat keberadaan setetes embun yang telah menguap menjadi udara nan berat di awan sana.

Hari telah bergulir...

Bunga pukul empat mulai bermekaran. Pertanda senja akan turun dengan cepat. Penghuni dunia mulai letih terlipat pada kesibukannya sepanjang hari. Semut berbaris panjang masuk lubang, pun tupai berloncatan kembali sarang. 

Malam datang mengantarkan bulan baru yang berbentuk penggalan kuku. Ia dan bintang-bintang kini telah menggantikan tempat mentari, berkelap-kelip centil di tengah semesta yang gelap.

Pada semesta yang gelap, disaksikan sang bulan dan bintang yang membentuk ribuan rasi, radiasi thermal terjadi. Sepanjang hari, benda-benda bumi menyerap panas dari mentari, namun kala malam, benda-benda bumi mendingin. Saat mendingin itulah udara di permukaan bumi tak lagi bisa menahan uap air. Sang uap terkondensasi. Melahirkan titik-titik air.

Hari terus bergulir...

Pada setiap hari yang masih dini, titik-titik air itu, ialah Embun.

Pagi hidup kembali. Pada Pagi, warna-warni muncul di setiap musim. Semua bagai sapuan kelir yang baru diserut. Pagi dipenuhi dengan bayangan bunga bermekaran, nectar-nectarnya bervakansi tertiup angin seolah tak lagi punya kuasa untuk menahan diri bertemu dengan benangsari bunga lain. Laiknya Pagi yang juga tak kuasa menjumpai butiran Embun.

Di sini ia berjumpa lagi dengan Embun yang tengah menari gemulai di atas daun-daun juga rerumputan. Embun tak berwarna, namun kilau beningnya mampu membuat Pagi berkilauan.

Embun tak butuh warna agar Pagi jatuh cinta padanya.

Embun dan Pagi berjanji selalu melengkapi. Bertemu, mengisi, di sini pada saat ini. Dan selalu...

Namun, hari tentu saja akan terus bergulir.
Kala kabut mulai berpendar, menyibak hari baru...

*** 






*met ulang tahun ya Embun sayang....
Dari Bunga yang selalu dibasahi tiap pagi, hihihihi


Love you! 

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu