Skip to main content

Happiness

Beberapa postingan yang lalu saya pernah menuliskan tentang “being happy” sampai tiga kali. Kenapa ya? Apakah sebegitu pentingnya kebahagiaan ataupun menjadi bahagia dalam hidup saya? Bagi saya iya. Kebahagiaan itu sangat penting buat saya, jika saya bahagia, saya tidak akan lagi peduli berapa berat badan saya, berapa uang yang ada di kantong saya, apa pekerjaan saya, ataupun betapa bodohnya saya, saya mungkin tidak akan peduli lagi semua itu as long as I’m happy.

Bagaimana dengan anda?

Lalu, apakah saya bahagia? Well, mungkin anda bisa menebaknya. Tapi tolong pertanyaannya harus menggunakan tenses yang jelas, seperti, “Are you happy?” atau “Were you happy?” ya seperti itu….

Dan kalau pertanyaannya menggunakan tenses yang kedua saya akan menjawab, dulu, duluuuuuuuuuuuu sekali saya sangat bahagia, kebahagiaan yang saya ciptakan “sendiri”. Sebagai anak tunggal selama 17 tahun yang kadang ditinggal Ibu-Bapaknya bekerja, saya terbiasa melakukan semuanya sendiri, menjalankan hobi, pulang sekolah main-main sendiri, jalan-jalan sendiri, beli dan baca buku semaunya sendiri, nonton tivi (sebelum akhirnya saya sangat membenci tivi), denger radio, nyanyi-nyanyi, joget-joget, makan ini makan itu tanpa kenal diet, pokoknya saya melakukan semua itu sendiri dan saya senang dengan semua itu. Ya bisa dibilang saya bahagia, dan ya memang se-simple itu.

Namun seiring dengan berjalannya waktu ketika saya mulai jatuh cinta dan mempunyai beberapa teman dekat, tanpa saya sadari saya telah menambatkan sesuatu yang sangat emosional di dalamnya, dalam sebuah hubungan, baik itu hubungan saya dengan pacar maupun hubungan dengan teman-teman dekat saya. Saya sangat berbahagia dengan mereka, berdua berpetualang dengan pacar, ataupun jalan bareng dengan teman-teman saya adalah sesuatu yang membahagiakan saya. Saya merasa menjadi orang yang paling bahagia di seluruh dunia, mempunyai pacar yang baik hati dan pintar, juga teman-teman yang selalu ada buat saya, saya merasa tak butuh apa-apa lagi ketika mereka berada di samping saya.

Namun...

Lama-kelamaan, saya lupa caranya menikmati kesendirian. Saya terlalu lena berada bersama mereka. Saya terlalu terlena bahagia.

Mungkin di sana letak kesalahan saya.

Tanpa saya sadari saya telah menjadikan keberadaan orang lain menjadi sumber kebahagiaan saya. Saya bahagia bila mendapat perhatian ataupun kasih sayang dari mereka. Dan saya…. Saya telah membebani mereka untuk kebahagiaan saya.

Seakan keberadaan mereka adalah sumber kebahagiaan buat saya. Saya seperti menyerap semua energi mereka untuk alasan saya menjadi bahagia. Namun ketika energi mereka telah habis saya serap dan membuat mereka capek, saya bingung sendiri kemana harus mencari sumber kebahagiaan itu lagi. Saya akhirnya bagai gasing yang telah dilepas dari pengaitnya, berputar-putar kebingungan mencari sumber-sumber kebahagiaan lain.

Tapi mungkin ini waktunya bagi saya untuk belajar, belajar tidak lagi membebani keberadaan siapapun sebagai sumber kebahagiaan buat saya.

Saya harus belajar menjadi sendiri, saya semestinya tidak lagi mencari perhatian pacar saya hanya untuk sekedar menemani weekend saya di tengah waktu sibuknya, (ya, meski itu weekend), saya hanya akan membiarkannya merindukan saya dan berinisiatif mengajak saya jalan, juga saya harus bisa merelakan bila kebahagiaannya pun mungkin bukan ketika sedang bersama saya, dan saya juga mestinya tidak lagi sedih jika teman-teman saya tidak lagi punya waktu untuk membalas sms saya, saya seharusnya tidak lagi galau jika mereka asyik dengan dunia mereka masing-masing yang tidak ada saya di dalamnya. Yang harusnya saya lakukan adalah move on, belajar menjadi pribadi yang independent, yang bisa asyik dengan diri saya sendiri, dan tidak menggantungkan kesenangan pada orang lain.

Kalau dipikir-pikir lagi betapa jahatnya saya pada diri sendiri juga pada mereka yang saya kasihi.

Maafkan saya kawan.

Maafkan saya juga ya, sayang...

Comments

mae alliswell said…
Tambah dewasa emang tambah ribet..gua juga pengennya kaya gitu des, menjadi bahagya dengan diri sendiri,,,But so far, It's so hard..Maybe next you can give some tips about being happy with ourselves alone..
Anonymous said…
Yup...being grown-up isn't an easy thing. Jujur, gw selalu berpikir manusia itu diciptakan memang pada dasarnya sendiri, tapi kodratnyalah yang membuatnya mencari pasangan dan berpasangan. Bahagialah dengan apa adanya dirimu.....
Anonymous said…
ehjiee dezka ternyata sedih karena ini
akuww tidak menegrti :p
Anonymous said…
sendiri itu kadang menyenangkan,tp ada 1 titik jenuhnya dmn kita memerlukan kehadiran seseorg walau hanya tuk sekedar hahahihi aja,,so,jalani aja apa yg menurut lo baik de,,tp inget,jgn pernah menarik diri,
Dessy Aster said…
@Mae : Iya Me, next post ya hehe
@Anonymous1: Thank you and I will try :)
@Anonymous2: Ini Mas Dongki nih! Gajebo ah komen lo!
@Anonymous3: Ini pasti Nur dari twitter nih, iyaaa kakkkaaaak saya tidak akan menarik diri saya hanya akan menarik uang di ATM biar bahagia hehehe
NH said…
hahaha awas aja klo smpe menarik diri,,nanti saya narik pke tambang :D,,,huh,,apakah swatu saat saya yg akan narik diri ya de??? :D
Dessy Aster said…
@NH: haha mau tarik-tarikan nih bu :p tunggu 17an aja ya LOL

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu