Skip to main content

Life Writer

Sudah lama rasanya saya tidak mengunjungi blog ini. Bukan karena sibuk, tapi sepertinga saya bingung hendak menulis apa. Saya sungguh sangat ingin menjadi penulis.

Tidak, bukan penulis yang menerbitkan bukunya tiap tahun dan menjadi bestseller tentunya, itu tall order buat saya. Saya hanya ingin menjadi penulis yang bisa menuliskan sejarah hidup saya dengan sejujur-jujurnya, tentang bagaimana saya memandang dunia saya juga tentang bagaimana saya menjalani hidup saya ditengah orang-orang yang menyayangi dan saya sayangi.

Saya ingin menulis secara sederhana.

Saya ingin sekali bisa menuliskan sejarah hidup saya sendiri sehingga kelak suatu saat nanti, ketika saya sudah tak ada lagi di dunia ini saya masih akan tetap hidup lewat tulisan-tulisan saya. Dan karena ada seseorang yang menganggap bahwa hidup adalah sebuah cerita, oleh karena itu kita harus menuliskannya. Dan saya ingin menuliskannya bersama dia, begitupun yang ia katakan pada saya, ia tak mencari
queen or princess untuk mendampingi hidupnya tapi ia mencari a life writer. Dan untuk itulah saya ingin menjadi penulis kehidupan karena ia telah lama menjadi inspirasi buat saya. Dan saya ingat betul setiap perkataannya yang memotivasi saya. (That's why I love you dear)

Saya kadang memikirkan tentang dunia dan pernak-perniknya. Sesekali, ketika saya benar-benar terjebak dalam rutinitas yang saya tahu bahwa itu bukan dunia yang saya inginkan, saya kadang lupa bahwa saya ini makhluk yang bernafas dan juga berakal yang mempunyai peran dalam kehidupan, sayapun lupa pada pencapaian-pencapaian bahkan cita-cita saya ini. Hingga blog ini pun terbengkalai, padahal sudah seharusnyalah blog ini menjadi manuskrip hidup saya.

Saya tidak memungkiri bahwa rutinitas tersebut adalah kekhawatiran saya tentang uang, kebutuhan, dan pandangan orang-orang tentang saya yang sudah lulus kuliah (halah), yang terkadang menyedot dan memupus sensitivitas dan insting saya untuk merangkai sekumpulan teks-teks yang indah dan bermakna.

Namun syukurlah setiap akhir pekan, ketika rutinitas dalam satu minggu terlewati saya masih berkesempatan bertemu dan
hang out dengan kekasih saya meskipun hanya dua sampai tiga jam di kedai kopi favorit kami. Saya suka sekali mendengar ia bercerita, tentang segalanya, tentang kekhawatiran dan tanggung jawab yang di embannya, tentang cita-citanya, tentang caranya yang unik dan complicated dalam melihat dunia di sekitarnya, hingga tentang pasion-pasionnya. Saya berusaha menjadi pendengar terbaik baginya dan merekam tiap detil maknanya dalam memori saya.

Setelah itu, entah kenapa saya sangat bergairah untuk menuliskannya kembali. Tiap kata yang keluar darinya bagai terurai diudara yang kemudian saya tangkap satu persatu dan rangkai kembali melalui versi saya.

Senangnya...
Semoga ia terus bisa menginspirasi saya hingga saya dapat memenuhi angan saya menjadi seorang
life writer baginya dan bagi diri saya juga....

Comments

Anonymous said…
I think it isnt gonna work :f

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu