Skip to main content

Surat dari Seorang Teman

Temanku tersayang,Mungkin kamu juga merasakan apa yang aku rasa. Sakit banget ya rasanya, menjadi ‘dewasa’ dan meninggalkan negeri Neverland??

Pedih rasanya. Saat berada sendiri tanpa teman bicara. Mungkin terkesan lebay dan cengeng, tapi apa yang aku rasa benar-benar menyiksa. Jadi inget puisi Seseorang yg berjudul Fear,

“One by one everyone runs away. And here I am, decayed and dying at the corner of this deserted room.”

Teman, aku bisu, karena gak bisa lagi bicara dengan kalian. Aku juga tuli karena gak bisa lagi dengar tawa kalian, cengannya kalian ke aku tentang pacarku, atau garingnya kalian saat melucu. Kurasa hatiku juga sudah mulai membatu dan mati rasa saat tak bisa lagi merasakan pedihnya rintangan hidup yang kadang kita bagi bersama. Kamera di hp ku seakan malfunction karena tak ada moment yang harus diabadikan bersama lagi. Gallery nya kosong karna gak ada senyum kita yg fotogenic.

Teman, aku cengeng sekali ya? Waktu nulis surat ini via hp aku nangis dan ibuku bertanya, dia kira aku ada masalah sama Pacarku, lalu aku bilang. Aku cuma kangen, kangen sama kalian. Apa salah, kalo aku akhirnya menangis?? Aku tahu dan sadar banget kalo ini memang kenyataan yang harus kita hadapi. Bahwa semuanya gak bisa dan gak akan sama seperti dulu. Apa salah, jika tiap kali aku mampir ke kampus, aku sering melihat bayangan kita, jejak kita dilorong gedung, ketawa ketiwi berisik kita di depan masjid, bercandaan kita yang kadang tak senonoh, ataupun debat kusir kita yang gak pernah jelas juntrungannya.

Dan aku gak akan berani masuk kedalam kelas, karena disana aku melihat empat hantu. Hantu si Dessy, si Intan, si Ratna, dan si Cuel, yg lagi diam-diam ngerobek kertas dan saling oper tulisan iseng hanya sekedar melepas jenuh sama pelajaran dan dosen. Hantu empat orang itu ketawa cekikikan dan mengajakku masuk bersama, tapi aku selalu tak bisa masuk lagi karena duniaku dan dunia ke empat hantu itu sungguh jauh berbeda. Hantu-hantu itu tinggal di negri mimpi dan khayalan sementara aku hidup di planet berjudul realistis. Dunia kami sungguh berbeda.

Seakan masih seperti kemarin. Seakan jejak-jejak itu masih hangat dan nyata. Aku melihatnya melalui sebuah layar yang berpendar dihadapanku, sebuah film dengan judul ‘masalalu’.

Tapi gak bisa dipungkiri bahwa aku amat sangat senang dan bahagia punya teman seperti kalian. Tetapi… Rasa senang dan bahagia yg berlebihan inilah yg membuatku menangis, karena merasa kini ‘tak lagi seperti dulu’ dan ’segalanya telah berubah’. Bahwa aku gak mungkin bersama-sama kalian lagi. Semua, masing masing dari kita telah memilih jalannya sendiri-sendiri.

Tapi, teman, aku benar2 sedih dan merasa sendiri. Kau tahu aku orang yg seperti apa, perasaan aku mudah sekali rapuh dan labil dan gak ada lagi sosok tiga orang yang membuatku ceria, kesal, bahkan jengkel namun selalu bisa menguatkanku. Teman, aku dan segala kekuranganku ingin berteriak, bahwa aku kini hanya serpihan yg tak di lengkapi. Mau tau kenapa??

Siapa lagi yang akan menerima kita apa adanya selain teman, siapa lagi yang akan tertawa bersama kita dengan lepas selain teman, siapa lagi yang akan menghapus airmata kita selain teman, siapa lagi yang akan membela kita selain teman, siapa lg yg akan menguatkan kita selain teman. Dan aku kehilangan sosok T.E.M.A.N.

Why should I stay? What keeps me here? Is there a little hope left here? They say,”there’s a hope in every despair”.

“I have doubt in me; fear is consuming me”, I reply.

“Don’t you know fear? fear that also drove you away, forsaking this cursed place” I say.
“Why don’t you stay too? Don’t you say there’s a hope in every despair?” I say again, “because hope is for you, and life is for us” they say.

One by one, everyone runs away with their life. And here I am, decayed and dying at the corner of this deserted room, letting fear consume me.


Comments

Oza said…
Sedih juga ya kak kalo gak ada temen, , , , aku takut nanti aku juga ngerasainnya. . .
Dessy Aster said…
Mungkin kamu juga akan merasakannya someday, but nikmatin aja kebersamaan kalian sekarang ini jangan sia-siakan tiap detik bersama teman yg kalian sayang, tp tetap let it flow naturally :)

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu