Skip to main content

Does the Internet Make Students Better Writers?

Artikel yang membicarakan tentang pelajar, menulis dan internet ini saya dapatkan ketika saya sedang iseng ngenet. Yup! 'ngenet', main internet, browsing, surfing, googling, tweeting, facebooking, blogging, mailing, pokoknya segala jenis kegiatan yang bisa dilakukan lewat internet. Maklum sebagai 'mantan' mahasiswa sastra Inggris saya tertarik dengan hal-hal yang menyangkut tulis-menulis dan juga jejaring sosial yang sedang booming saat ini melalui internet.

Dan dalam artikel yang saya temukan itu, yang menjadi pertanyaan yaitu does tweeting, texting, facebooking, or blogging promote better writers? dan kebanyakan dari mereka menjawab: ehmm mungkin, tapi apa pedulinya sih, toh saya gak kepingin jadi penulis, lagipula yang penting lewat internet saya bisa dapet hiburan, namun ada juga yang klise menjawab, b
ahwa lewat internet saya bisa dapat banyak pengetahuan (itu mungkin jawaban dari orang tipikal jaman orde baru hehehe) tapi gak ada salahnya juga sih jawaban itu. Dan jawaban terbanyak yaitu, lewat jejaring sosial yang ada di internet tersebut kita bisa update status terkini bisa show off apa yang sedang kita kerjakan, lakukan or rasakan. Hmmm, yang satu ini jawaban dari mereka yang berusia rata-rata remaja yang masih duduk dibangku sekolah or kuliah yang banyak menggandrungi jejaring-jejaring sosial seperti facebook, twitter, dsb.

Namun sadarkah mereka bukankah dengan meng-update status dalam wall or tweet jejaring sosial tersebut mereka melakukannya melalui tulisan? Ya, semuanya terdiri dari kata-kata, begitupun dunia ini yang tersusun oleh kata-kata, yang berarti mereka melakukannya dengan menulis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Josh Keller--seorang penulis "The Chronicle of Higher Education"--saat ini para pelajar melakukan banyak kegiatan tulis-menulis diluar kelas. Wah, saya semakin tertarik dengan artikel ini karena ternyata memang cocok sekali khususnya untuk saya ataupun mereka yang saat ini sedang menempuh pendidikan yang berhubungan dengan tulis-menulis ataupun baca-membaca (emang ada ya pendidikan yang gak berhubngan dengan itu hehehhe? lol).

Ditambahkan lagi oleh Keller bahwa para pelajar tersebut banyak melakukan kegiatan tulis-menulis diluar kelas lebih sering dari biasanya karena kegandrungan mereka terhadap Facebook, Twitter, Mailing dll yang memaksa mereka untuk menulis didalamnya meskipun itu hanya menulis tentang status update. Nah, karena Facebook, twitter dan antek-anteknya itu engaged atau berhubungan langsung dengan audience, Keller berpendapat bahwa hal inilah yang menyebabkan para pelajar itu melakukan bad writing dan hanya sedikit yang berhubungan langsung atau mendukung kegiatan tulis-menulis akademik mereka.

Well, saya setuju dengan pendapat om Keller tersebut, namun ada yang membantah pendapat tersebut dan saya juga tidak bisa berargumen tidak tentang bantahan ini. Bantahan yang keluar dari seorang direktur sekaligus pengelola Writing in Digital Environments Research Center dari Michigan yang bernama Jeffrey T. Gabriel ini mengatakan bahwa jangan samakan tulisan akademik dengan tulisan yang bersifat conversational. Ia juga berpendapat banyak orang salah berasumsi mengenai tulisan akademik, bahwa jika seseorang bisa menulis sebuah essay yang bagus yang ia tunjukkan untuk dosen sastranya, maka secara otomatis ia bisa menulis tentang apa saja. Mengenai hal ini Gabriel berkata "that's utter nonsense." College writing menurutnya harus memiliki setidaknya dua tujuan, yang pertama yaitu, membantu para pelajar untuk menulis lebih baik dalam tulisan akademik mereka dan yang kedua yaitu membantu para pelajar untuk menjadi penulis yang lebih baik di dunia luar sana (non-akademik).

Gabriel juga menegaskan bahwa menulis 'dalam kelas' sangat berbeda jauh dengan menulis 'diluar kelas'. Menulis 'dalam kelas' hanya ditunjjukan sebagai tugas yang diperintahkan dosen yang hanya memiliki keterbatasan audience, sedangkan menulis 'di luar kelas' ditunjukkan untuk audience yang lebih luas dan berasal dari berbagai bacground akademik dan kebanyakan lebih menyerupai sebuah conversation dibandingkan dengan argumen yang harus dipresentasikan di depan kelas.

Menanggapi pendapat Keller, seorang professor bahasa Inggris dari Emory University bernama Mark Bauerlein mengakui bahwa menulis di media elektronik ataupun lewat jejaring sosial ini dapat meningkatkan rendahnya kemampuan menulis yang baik bagi para pelajar. Wow! Kenapa? Karena menurutnya, (terjemahkan sendiri ya...!) "
spends more of his time correcting, not integrating, the writing habits that students pick up outside of class. The students in his English courses often turn in papers that are 'stylistically impoverished',” dan menurutnya yang patut dipersalahkan yaitu internet. Menulis untuk jejaring sosial, updating status, atau chatting dengan teman secara online mendorong mereka [para pelajar] untuk menulis dengan cepat dengan pikiran yang tidak fokus yang mengakibatkan ketidakpedulian terhadap kalimat yang koheren dan keterbatasan kosakata.

Mungkin kegandrungan saya terhadap internet inilah yang juga membuat saya tidak bisa menulis dengan baik, lihat saja bahasa yang saya gunakan dan juga kerangka logika tulisan saya. Well, sebenarnya saya tidak peduli seberapa bagus atau burukkah tulisan saya, namun sekali lagi saya tekankan bahwa menulis hanyalah masalah "will" kemauan y
ang ada dalam diri untuk menulis. Tetapi tetap saja semuanya harus terorganise sehingga audience mengerti. Dan bukankah semua hal yang terorganise dapat dikatakan sebagai sesuatu yang bagus, jadi apakah saya sudah dapat diketegorikan sebagai seseorang yang menulis dengan bagus atau tidak? Terserah saja.

Nah, bagaimana menurut kalian sendiri, does internet make students better writers? Your thought?

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu