Skip to main content

#Day 24: Fears

Suatu malam, aku dan dia, kami terlibat dalam sebuah diskusi yang cukup panjang. Dia yang begitu pragmatis dan saya yang kadang teramat utopis dan romantis berhadapan pada layar ponsel masing-masing. Kami mengetik huruf-huruf yang menjadi bahan perdebatan. Tak ada intonasi di sana, pun emoticon tak mampu mewakili apa yang sebenarnya masing-masing dari kita rasakan. Inilah yang kadang membuat saya jengkel dan kesal karena gaya bicaranya yang sok cuek yang kadang membuat saya naik pitam karena tersinggung, padahal sebenarnya ia tidak pernah bermaksud mengatakan hal yang membuat saya marah.
Menurutnya saya terlalu membesar-besarkan masalah.
Awal perbincangan kami adalah ketakutan-ketakutan saya, ketakutan akan perubahan, ketakutan atas perasaan tidak diterima maupun perasaan bersalah, ketakutan akan masa depan yang masih kelabu, juga ketakutan-ketakutan absurd yang menghinggapi saya.
Lalu pada akhirnya kami sampai pada titik pendekonstruksian perasaan takut tersebut. Simplenya seperti ini: semua orang takut mati, tapi siapa tahu kita akan menyesali kelahiran kita? Ada beberapa orang yang takut akan perubahan, tapi siapa tahu perubahan akan membuat kita bahagia? Setiap orang takut berbuat salah, tapi siapa tahu kalau dengan meminta maaf kita dapat lebih lega? Pasalnya kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, ketakutan terbesar yang harus kita lawan adalah perasaan takut itu sendiri.

Comments

Unknown said…
finally, you talked what u fear to whom you've to talk, didn't you? he..

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha...

#Day 5: Kamu di mana?

Kamu di mana? Tolong kembalilah. Tidak tahukah engkau sedari tadi aku gusar, gundah gulana, dan mencak-mencak tak keruan mencarimu. Aku butuh kamu. Tadinya aku pikir kamu sudah berada di kamarku. Lalu aku pun mencari-cari di tiap sudut kamarku. Tapi kau tak terlihat juga. Padahal baru saja kita berbincang-bincang di ruang tamu bukan? Aku hanya meninggalkanmu sebentar saja, kau sudah menghilang. Aku bertanya pada ibu. Ia bilang mungkin kamu ada di kebun bunga matahari. Ehmm mungkin sih.  Ibu terlihat ragu. Aku pun akhirnya berlarian ke kebun bunga matahari. Tapi ternyata fiktif. Itu kebun biasa. Tak ada bunga, tak ada matahari, karena hari sudah malam. Dan kamu pun tak ada di sana. Aku bertanya pada Bapak. Ia menjawab sambil hening membaca koran tentang berita kenaikan harga cabe keriting dan kol gepeng di tanah air. Ia lebih tertarik akan berita ekonomi daripada menjawab pertanyaanku dengan benar. Ia cuma bilang. Mungkin di kamar mandi. Acuh. Aku menuj...