Suatu malam, aku dan dia, kami terlibat dalam sebuah diskusi yang cukup panjang. Dia yang begitu pragmatis dan saya yang kadang teramat utopis dan romantis berhadapan pada layar ponsel masing-masing. Kami mengetik huruf-huruf yang menjadi bahan perdebatan. Tak ada intonasi di sana, pun emoticon tak mampu mewakili apa yang sebenarnya masing-masing dari kita rasakan. Inilah yang kadang membuat saya jengkel dan kesal karena gaya bicaranya yang sok cuek yang kadang membuat saya naik pitam karena tersinggung, padahal sebenarnya ia tidak pernah bermaksud mengatakan hal yang membuat saya marah.
Menurutnya saya terlalu membesar-besarkan masalah.
Awal perbincangan kami adalah ketakutan-ketakutan saya, ketakutan akan perubahan, ketakutan atas perasaan tidak diterima maupun perasaan bersalah, ketakutan akan masa depan yang masih kelabu, juga ketakutan-ketakutan absurd yang menghinggapi saya.
Lalu pada akhirnya kami sampai pada titik pendekonstruksian perasaan takut tersebut. Simplenya seperti ini: semua orang takut mati, tapi siapa tahu kita akan menyesali kelahiran kita? Ada beberapa orang yang takut akan perubahan, tapi siapa tahu perubahan akan membuat kita bahagia? Setiap orang takut berbuat salah, tapi siapa tahu kalau dengan meminta maaf kita dapat lebih lega? Pasalnya kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, ketakutan terbesar yang harus kita lawan adalah perasaan takut itu sendiri.
Comments