Skip to main content

Masih Ada

Para penonton itu bersorak sorai. Gegap gempita aku dengar dari teriakan-teriakan mereka.
"Ayooo Rocky!! Ayo cepat, kamu bisa!!!"
"Terus Lucky... Jangan mau kalah sama Rocky, kamu harusnya lebih beruntung dari dia!! Jangan lambat!"
"Hap... hap! tinggal sedikit lagi sampai garis finish Rocky!! Ayooooo! Kamu lah yang terhebat Rocky!"
Mereka menyemangati kami, aku dan temanku Lucky yang tak seberuntung namanya, berada dalam perlombaan yang tak kami mau.
Mereka terus bersorak, bertepuk-tepuk tangan menyemangati kami, kudengar mereka pun bertaruh banyak untuk lomba ini. 
Aku melawan temanku sendiri, yang sekarang terlihat begitu letihnya, begitu sakitnya, sungguh aku tak tega melihatnya. Pula aku tak tega berlomba untuk taruhan sinting ini. Oh, maafkan temanmu ini Lucky. Tapi jika aku kalah, aku lah yang akan mati.
Tak punya hati kah mereka?
Tak adakah seseorang di sini yang masih mempunyai hati nurani?
Jarak yang kami tempuh begitu panjangnya, aku tak yakin Lucky mampu mencapainya.
Lomba lari ini sungguh menyiksa kami berdua. 
Tiga puluh centimeter sungguh memakan waktu lama... Tapi aku berhasil melaluinya. Aku menang.
Oh tidak, tamatlah riwayat Lucky!!
"Yaahh, Lucky payah!! Mamaaaa minta garamnyaaa. Biar aku taburkan garam di tubuhnya!"
"Jangan, Nak! Kasihan, bekicot kalau dikasih garam akan mati, kamu akan berdosa, buang saja ia di taman belakang!" 
Ah syukurlah, masih ada orang yang mempunyai hati nurani.

Comments

Hello I'm Na said…
fyuh syukurlah.
Lucu, buu! :D

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu