Haey Guys! Saya mencoba menjawab tantangan dari Mujib buat ikutan kompetisi cerpennya selfpublishing Nulisbuku.com, dari @aksarahati_k.
Temanya agak suseh nih buat saya, which is Menikahimu Itu Pilihanku, meskipun saya sudah menikah tapi masih susah aja nulis yang agak-agak berbau cerita cinta. Lalu persyaratannya minimal 500 kata dan maksimal 1000 kata, duuuhh I really wish it can be more than that hehehe.
So, tanpa panjang lebar lagi inilah hasil menulis selama tiga jam plus digangguin Mik yang minta dibikinin susu berkali-kali hehehe. Hope you like it!!
Di
Pemakamanmu Sore Itu
Hujan telah reda, namun dinginnya masih
melekat. Dan kamboja putih itu jatuh bagai slow
motion di hadapanku. Perlahan… pelan… seiring kelabu langit yang sedari
tadi memeluk bumi, menghadirkan kesedihan tak berujung pada wajah-wajah orang
yang kulihat hari ini. Karenamu… Semua karena kamu.
Tangisku kusembunyikan dalam kudung
hitamku. Dan seperti kamboja putih yang jatuh itu, tak ada yang memedulikan
kesedihanku, semua sibuk dengan kemuramam masing-masing seolah semua berakhir
hari ini, seolah kamu benar-benar lenyap, tak bersisa, seolah kita tak akan
berjumpa lagi, mungkin tak di dunia ini, tapi aku yakin kelak, di akhirat
nanti, kita akan bersama-sama lagi.
Lihatlah suamiku sayang, di pemakamanmu hari ini, orang-orang berkumpul.
Mereka menangis menyayangkan kepergianmu yang terlalu dini. Hari menjadi muram,
semuram wajah-wajah mereka. Kau mungkin bisa melihatnya dari sana, maka lihatlah, teman-temanmu,
rekan kerjamu, Ayah dan Ibumu, bahkan Paman Ron dan Bibi May juga datang.
Mereka yang kau pikir tak pernah menyayangimu datang di pemakamanmu. Mereka
peduli padamu, Sayang.
Kulihat mereka menangis.
Mengapa? Mengapa kau begitu ingin
meninggalkan dunia ini hanya untuk mengetahui siapa-siapa saja yang menangisimu
di hari kematianmu? Kenapa…? Kau tahu aku sangat mencintaimu, dan calon makhluk
hidup dalam rahimku, bayimu, aku sangat yakin dia pun akan menyayangimu seperti
aku. Kenapa harus berakhir seperti ini?
Ah… Hujan memang telah reda, namun
kamboja-kamboja putih itu terus saja berjatuhan. Gerakannya masih terlihat slow motion di mataku, perlahan… pelan…
Apakah bumi juga memperlambat geraknya? Atau bergerak berlawan arah? Aku rasa
iya, karena kenangan-kenangan tentangmu, tentang kita, berputar-putar dalam
otakku. Semua bagai film yang diputar ke belakang. Tampak jelas.
Pagi itu di meja kerjaku, hampir setahun
yang lalu, kudapati sepucuk surat tanpa nama pengirim dengan seikat bunga aster
di atasnya.
“Aku mengagumimu diam-diam. Aku memerhatikan setiap langkahmu, bahkan irama
ketukan sepatumu aku hapal betul. Aku kelu setiap kali berhadapan denganmu.
Sihir apa yang kau punya hingga
nafas dan detak jantungku seakan berhenti tiap kali kau bicara padaku? Aku
mengagumimu.
Ah mungkin tidak, mungkin aku telah
jatuh untuk mencintaimu”
Sejak saat itu puluhan surat cinta
datang bertubi-tubi di meja kerja ku, selalu tanpa nama dan selalu penuh bunga.
Aku melayang, dunia serasa tak memiliki gravitasi. Sutar-surat cintamu
membuatku makhluk paling bahagia di dunia. Hingga akhirnya kau memberanikan
diri muncul di hadapanku.
Dayung bersambut. Kau tipe pria
favoritku. Aku luluh….
Hari demi hari kasmaran kita lalui
bersama, bahagia, sedih, cemburu hingga perasaan takut kehilangan menjadi bumbu
perekat hubungan kita, hingga datang suatu masa kau melamarku.
Melamar….
Memintaku menjadi istrimu.
Bos dan sekretarisnya menikah? Ah apa
kata orang nanti?! Aku tak sanggup mendengar bisikan-bisikan jail di
belakangku. Tapi aku sudah memantapkan hatiku padamu, mengikatkan kebebasanku
di hidupmu. Aku memilih untuk menikah
denganmu, memilih menjadi istrimu ketimbang menjadi sekretarismu. Aku berhenti
bekerja.
Menjadi istrimu jauh melebihi segalanya
bagiku.
Test
pack
murahan yang aku beli menunjukkan dua garis merah, dan tak perlu sekolah kebidanan
untuk mengetahui apa arti dua garis merah itu. Aku positif hamil, kau akan
menjadi ayah dan aku menjadi ibu. Betapa bahagianya aku, begitu yang kuharap
juga kau rasakan. Diana junior atau Bian junior yang akan lahir, selalu seperti
itu pertanyaanku. Tapi esoknya dan beberapa hari setelah itu kau tampak
berbeda. Kau bukan lagi Bian yang biasa kukenal. Bian yang romantis meskipun
bawel, Bian yang selalu riang namun penuh karisma. Bian yang kupeluk dalam
mimpiku dan kudekap ketika aku terbangun. Kau menjelma Bian yang tak lagi ku
kenal.
Kau mulai jarang pulang, dan itu tak
pernah aku pertanyakan. Aku hanya tak ingin stress demi bayi dalam rahimku.
Tapi kau masih saja bisa bergurau meskipun kau nampak seperti sedang menanggung
puluhan ton beban di pundakmu dan tak ingin membaginya denganku.
“Sayang, nanti kamu saja ya yang kasih
nama untuk anak kita!” Aku merajuk.
Kau menghiraukannya.
“Sayang, kalau misalnya aku mati besok
dan meninggalkanmu surat cinta seperti dulu, apa kamu akan menangis dan
menyesal telah menjadi istriku? Apa kau juga akan membenciku?”
Gurauanmu
sungguh tak lucu, Sayang!
“Surat apaan sih, emangnya kenapa kamu
mau mati besok? Ada-ada aja deh. Gak lucu ah!” Aku kesal.
“Cuma mau tahu aja, orang-orang pada
sedih gak kalo aku gak ada, kamu bakalan nangis gak? Haha.”
Gurauanmu sungguh keterlaluan dan
menyakitkan Sayang, tapi masih saja kau bisa tertawa.
Dan hari itu pun tiba, hari yang
mengubah segalanya, hari yang seharusnya hanya hari biasa seperti hari-hari
lainnya, hari yang seharusnya tak terjadi hanya karena gurauan semata. Kau
mengakhiri hidupmu, di stasiun kereta api itu. Kau sendiri, mungkin berdua
dengan semua beban di pundakmu, menyerahkan dirimu pada titian rel dengan
roda-roda kereta yang melintas dengan cepat di atasnya. Sekejap saja, orang–orang
melihatmu terbujur kaku, tanpa nyawa.
Setelah hari keparat itu, aku menemukan
suratmu. Kau bilang padaku beratus-ratus kali bahwa kau mencintaiku dan memintaku
untuk terus bahagia, dengan atau tanpamu, untuk menjalani hidup dengan tegar
meski apa pun orang bilang tentangku, untuk dapat selalu tersenyum karena hanya
dengan aku tersenyum, matahari muncul dan menerangi kegundahanku.
Tapi hari ini di pemakamanmu, untuk
sementara biarkan aku seperti mereka, biarkan aku juga berduka di balik kudung
hitamku dan meratapi kepergianmu. Untuk sementara biarkan aku nyaman dengan
rasa sedihku dan tak membencimu karena meninggalkanku.
Karena aku tahu ….
Aku tahu sampai kapan pun kau selalu
mencintaiku.
Aku tahu kau telah memilihku dan akan
terus memilikiku.
Aku tahu, aku tak akan pernah
kehilanganmu, bagian dari dirimu kini ada di rahimku.
Aku tahu kau akan selalu ada.
Aku tahu itu…
Suamiku, hari ini di pemakamanmu, di
tengah orang-orang dengan wajah muram dan nestapa, sama berdukanya seperti aku,
sama sakit dan kehilangan sepertiku, dari kejauhan aku juga melihatnya bersama
Ibu dan Ayahmu, juga Paman Ron dan Bibi May, ia menangis sesenggukan, namanya
Elena kan? Istri sah mu.
***
Comments