Skip to main content

Pembuktian

Dear Taylor,
Saya pernah begitu "young and naive" di fase-fase usia saya yang masih 20-25 tahun, saya selalu ingin membuktikan pada orang-orang di sekeliling saya bahwa saya bisa dan mampu. Bahwa saya juga pintar, bahwa saya juga diperhitungkan.

Pada masa-masa itu saya seringkali sadar kalau saya sedang menggunakan topeng, topeng "bisa" topeng "sok pintar" topeng "berani" dan topeng-topeng lainnya. Saya sadar saya memakainya dan saya merasa kelelahan. Lama-kelamaan topengnya terasa begitu berat mencengkram wajah asli saya, sehingga saya tak lagi mengenali siapa saya sebenarnya dan apa yang saya mau. Selalu yang ada dipikiran saya saat itu adalah apa saya melakukannya dengan baik, atau apakah saya berhasil mendapatkan sesuatu yang orang anggap itu adalah hal yang bagus, apakah jika saya begini begitu sikap saya dapat diterima? 

Lagi-dan lagi yang saya pikirkan selalu adalah pendapat orang lain, saya telah jahat pada diri saya sendiri dengan tidak menanyakan lubuk hati saya apakah saya nyaman melakukannya? Apakah memang saya harus berada di sini karena saya mau atau karena tempat ini "dipandang" bagus?
Di balik topeng-topeng itu saya kehilangan arah, saya selalu merasa tersasar, saya selalu merasa sendiri dan hilang, padahal saya kala itu punya keluarga yang utuh, punya pacar, punya teman-teman dekat. Tapi seperti halnya saya, mereka pun nampaknya tidak mengenali seperti apa sebenarnya saya.

Di usia yang telah melewati 35 tahun ini akhirnya saya hanya bisa merefleksikan itu semua dan menganggap itu hanyalah fase. Fase yang memang menjadi bagian perjalanan hidup saya. Dan saya pun bersyukur akhirnya saya masih hidup dan menertawakan masa-masa itu sambil duduk di depan seorang murid bernama A saya mengetik tulisan ini. Ternyata lama juga menunggu A mengerjakan soal-soal matematika dari saya, padahal cuma tinggal nyalin hehehe


Des
Ruang Gama 13:54

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

Quatrain About a Pot

"On a nameless clay I see your face once more My eyes are not that dim, obviously for seeing what is not there What is the worth of this pot, anyway, save part illusion? something that will break one day and for us to make eternal" (Goenawan Mohamad)

The Boy Who never Listened

One day a mother said to her son, "I must go out now and do some shopping. I want you to look after the house." "Yes, mother," the boy said. But he was not listening. He was interested only in his game. "There are three people will come to the house: first the butcher, then my friend and lastly a beggar," his mother explained. "Are you listening to me?!" cried the mother. "Yes, Mom," said the boy, but his eyes didn't leave his game. "Very well, when the butcher comes, tell him that his meat is too fat and he must never come here again!" ordered the mother. "Ask my friend to come in and give her a cup of tea. Finally give the pile of old clothes by the door to the beggar. Do you understand??" "All right Mom," answered the boy but still playing with his game. The mother went out and soon there was a knock at the door. The boy put his game down and went to open it. He saw a pile of clothes by the door. &qu