Skip to main content

#Day10: Be Afraid, Be Very Afraid!!!


Duh lagi agak bosan nih, tiba-tiba ngudek-ngudek koleksi buku-buku masa kecil saya. Tercengang sama sampul bukunya. Eh, ternyata buku macam beginian yang saya baca dahulu kala. Saya mau review ya kawansss.

Dari kecil saya seneng banget baca goosebumps. Koleksi goosebumps klasik saya banyak sekali sejak saya kelas 4 SD kalo gak salah. Mungkin saat itu saya suka baca goosebumps karena kebanyakan karakternya emang seusia saya, jadi saya berasa lagi meranin tokoh utama dalam novel tersebut. Nah, memasuki era millennium baru, R.L. Stine, si penulis serial goosebumps ini ngeluarin goosebumps yang series 2000, buat saya ceritanya gak semenarik yang series klasik. Too much fantasy yang kalo menurut saya jadi less real kehidupan si karakter utamanya. Eh iya gak sih? Menurut saya sih gitu. Kenapa? Karena dari judulnya aja udah kelihatan, misalnya, kalo yang di seri klasik, judulnya simple-simpel banget kayak, “Kenapa Aku Takut Lebah”, “How I Learned to fly”, “Masalah Besar”, “Bergaya sebelum Mati” atau “Jangan Sembarangan Mengucapkan Keinginan” judulnya sederhana dan melekat banget di kehidupan sehari-hari anak remaja tanggung.

Nah, salah satu novel goosebumps series 2000 ini berjudul Be Afraid, Be Very Afraid, yang dalam versi Indonesia diterjemahkan menjadi Permainan Maut, novel ini saya baca waktu SMP akhir, (iya, walau udah SMP saya masih suka baca yang beginian bukannya baca-baca teenlit lol, sumthin wrong??? dunno). Novel ini menceritakan tentang, oopps, interrupt dulu, ini cerita yang saya inget aja ya, maklum saya bacanya berpuluh-puluh tahun lamanya hehehe, dan out of sudden gak tau kenapa pengen ngerivew buku ini.

Oke, lanjut, novel ini bercerita tentang dua sahabat platonic Emily dan Connor, yang pada saat itu sedang bosan-bosannya liburan musim panas tapi doing nothing, hampir semua permainan sudah bosan mereka mainkan, dan hampir semua buku sudah habis mereka baca. Namun, suatu ketika, tetangga mereka yang bernama Mr. Zarwid menggelar the garage sale di depan rumahnya. FYI, Mr. Zarwid ini orang yang aneh, Bapak-bapak hampir tua yang tinggal satu komplek dengan Connor ini terkenal anti social dan tidak menyukai anak-anak, a.k.a. galak. Di garage sale milik Mr. Zarwid ini, Connor dan Emily menemukan sesuatu yang menarik perhatian mereka yaitu semacam kartu-kartu game kuno dengan karakter monster, ksatria, putri, raja, penyihir, dwarf dan juga naga. Connor  yang menemukan permainan kartu ajaib dan berniat membelinya tidak ditanggapi oleh Mr. Zarwid, “kartu itu tidak dijual” Tapi memang dasar jail, kedua sahabat tersebut mencuri kartu-kartu tersebut.

Permainan pun dimulai. Dan seketika itu pun horror dimulai. Ketika mereka memainkan kartu monster, tiba-tiba di luar rumah mereka terdengar sesuatu tumbang, dan terjadi gempa. Ternyata yang tumbang adalah tiang listrik yang mengeluarkan percikan-percikan bunga api yang dirusak oleh seekor monster buas nan besar yang mirip dengan monster yang ada dalam kartu. Dentuman gempa berasal dari jejak-jejak kaki monster yang menjelajah kota. Penduduk ketakuan, kota pun mencekam, belum lagi muncul naga-naga penyembur api. Connor dan Emily ketakutan, mereka menyadari semua adalah kesalahan mereka, karakter-karakter dalam kartu hidup semua. Emily dan Connor harus menyelesaikan permainan maut tersebut untuk menyelamatkan diri mereka dan kota. Namun, apa yang terjadi, kartu penyihir pun hidup, Connor dan Emily harus berhadapan dengan pernyihir yang ternyata mirip sekali dengan MR. Zarwid. Apa yang harus mereka lakukan? Akankah mereka selamat…??

Yah seperti itu kira-kira ceritanya, but u know what ternyata cerita memang sampai di situ, tiba-tiba buku pun bertuliskan TAMAT justru pada saat Connor dan Emily berada dalam situasi genting berhadapan dengan sang penyihir maha sakti. But wait, ternyata kisah Connor dan Emily merupakan kisah fiktif dari sebuah novel misteri yang sedang dibaca oleh dua orang teman bernama Brenda dan Ross (karakter lain yang muncul dalam novel ini). Kesal membaca cerita yang menggantung tentang petualangan Connor dan Emily, Brenda dan Ross pergi berkeliling komplek, dan out of sudden bertemu dengan seorang lelaki tengah baya bernama Mr. Wardiz yang menawarkan menawarkan mereka sekotak kartu permainan maut. Apakah Brenda dan Ross menerimanya?? Siapakah sebenarnya Mr. Zarwid dan Mr. Wardiz… hihihi lanjutannya baca aja. Saya sudah cukup spoiling di sini.

Yup, untuk saat ini menurut saya emang cerita seperti ini cuma thriller biasa yang nakutin anak kecil, tapi buat saya yang berusia belasan dan belum baligh dahulu kala, kisah-kisah seperti ini bisa membuat imaginasi saya kaya, membawa saya discovering and wandering a new world. No one to tell me no or where to go, or say, hey Des, you’re only just dreaming. Yah seperti itulah hehe.

Comments

Popular posts from this blog

#Day 7: Daisy, Kumbang dan Matahari Bercerita pada Taman

Than there to look upon the daisy, That for good reason men do name The ‘day’s-eye’ or else the ‘eye of day,’ The  Empress,  and flower of flowers all. I pray to God good may her befall.   ~Chaucer   Adalah bunga liar nan tumbuh bergerombol, kecil-kecil dengan warna putih dan nektarnya yang kuning, semarak menghiasi taman dengan kemilau yang mengharmonisasi hijau daun dan alang-alang. Ia selalu ingin bisa seperti mereka yang indah dan anggun menghiasi taman. Ia kemudian hanya bisa tersenyum simpul, tangkai dan kelopaknya berdansa kian kemari tatkala angin semilir meniup kehidupannya yang nyaris sempurna. Chaucer berfilosofi, daisy adalah "the day's eye" matanya hari, matahari. Ia mencuri bentuk Matahari. Bentuknya menyerupai mata sang hari, yang begitu indah menerangi. Tapi di sudut taman ini, ada setangkai Daisy yang merasa kelabu, harapannya kosong. Daisy yang tidak pernah bisa percaya diri, Daisy yang tidak pernah bisa melihat bahwa dirinya sa...

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha...