Skip to main content

Sehelai Tissue dan Sebatang Korek Api

Ada sehelai tissue bekas dan sebatang korek api tergolek di bawah bangku kereta api dalam kota pagi ini, mereka mungkin sedang berbicara satu sama lain, berbicara dengan bahasa mereka masing-masing. Mungkin seperti ini percakapannya:

Tissue : Hai Rek, siapa yang membawamu kesini?

Korek : Seorang perempuan.

Tissue : Perokok?

Korek : Bukan, eh mungkin juga, tapi bagaimana aku tahu ia perokok atau bukan. Aku kan cuma sekali pakai lalu buang, beruntung aku tak sampai habis dibakarnya menyalakan rokok.

Tissue : Ya itu dia, dia pasti perokok.

Korek : Bagaimana kau tahu?

Tissue : Ya karena dia merokok.

Korek : Oh jadi orang yang merokok dinamakan perokok. Tapi bukankah dalam kereta ini dilarang merokok?

Tissue : Dia sudah pasti perokok.

Korek : Kenapa pasti?

Tissue : Karena merokok dan membakarmu untuk rokok.

Korek : Oh jadi orang yang membakarku untuk rokoknya lalu merokok meskipun merokok di tempat yang dilarang merokok tetap disebut sebagai perokok, kenapa bisa begitu? Bagaimana dengan kamu apa yang memakai kamu itu orang pe... pe... pe-apa ya? Petissue??

Tissue : Bukan. Dia juga perokok.

Korek : Bagaimana bisa perokok juga?

Tissue : Karena dia merokok.

Korek : Bagaimana kamu tahu dia merokok, apa dia juga membakarmu seperti aku?

Tissue : Tidak.

Korek : Lalu? Kenapa bisa tidak?

Tissue : Aku tidak terbakar. Coba lihat perempuan di depan kita, sepertinya

sedari tadi dia memperhatikan kita berdua.

Korek : Mana?

Tissue : Yang pakai baju hitam itu. Jangan berisik ia mendengar percakapan kita.

Korek : Memang kenapa kalau dia sampai tahu?

Tissue : Dia akan berpikir kita gila. Sudahlah berhenti bertanya, lihat tatapannya sangat mencurigakan

Korek : Bagaimana kau tahu ia mendengarkan kita?

Tissue : Lihat saja tatapannya.

Korek : Ah biasa saja. Tatapan seperti apa yang kamu maksud?

Tissue : Tatapan yang mengarah pada kita berdua yang berpikir bahwa kita sedang bicara.

Korek : Apa kalau kita bisa bicara kita disebut gila?

Bersambung.....

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha...

#Day 5: Kamu di mana?

Kamu di mana? Tolong kembalilah. Tidak tahukah engkau sedari tadi aku gusar, gundah gulana, dan mencak-mencak tak keruan mencarimu. Aku butuh kamu. Tadinya aku pikir kamu sudah berada di kamarku. Lalu aku pun mencari-cari di tiap sudut kamarku. Tapi kau tak terlihat juga. Padahal baru saja kita berbincang-bincang di ruang tamu bukan? Aku hanya meninggalkanmu sebentar saja, kau sudah menghilang. Aku bertanya pada ibu. Ia bilang mungkin kamu ada di kebun bunga matahari. Ehmm mungkin sih.  Ibu terlihat ragu. Aku pun akhirnya berlarian ke kebun bunga matahari. Tapi ternyata fiktif. Itu kebun biasa. Tak ada bunga, tak ada matahari, karena hari sudah malam. Dan kamu pun tak ada di sana. Aku bertanya pada Bapak. Ia menjawab sambil hening membaca koran tentang berita kenaikan harga cabe keriting dan kol gepeng di tanah air. Ia lebih tertarik akan berita ekonomi daripada menjawab pertanyaanku dengan benar. Ia cuma bilang. Mungkin di kamar mandi. Acuh. Aku menuj...