Skip to main content

Hanyut (Novel Grafis)


Hanyut atau yang dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, A Drifting Life adalah novel grafis Jepang yang ditulis oleh Yoshihiro Tatsumi. Kenapa disebut novel grafis? Kenapa bukan komik, padahal isinya tak lain adalah gambar-gambar dengan balon-balon teks yang dihadirkan dalam kotak-kotak ilustrasi? Well, sebenarnya ada beberapa hal yang membedakan antara novel grafis dan komik.

Dalam membaca komik biasanya kita disuguhkan alur cerita yang ringan, terdapat unsur humor, atau superhero-superhero yang mejadi tokoh utama, namun jika membaca novel grafis maka akan terasa seperti membaca sebuah karya sastra karena di dalamnya terdapat dua unsur yang sangat penting yaitu unsur visual dan juga bahasa (yang menurut saya sebuah kerja serius dari pembuatnya yang jauh dari sifat populer dan bukan merupakan bacaan yang ringan karena di dalamnya terselip ideologi-ideologi yang ingin disampaikan oleh penulis). Kemudian, cara penyampaian cerita dalam novel grafis ini sangat kreatif, karena dalam penyampaian teks-teksnya terdapat adegan-adegan dengan visualisasi perspektif yang menampilkan raut wajah atau mimik yang begitu “bercerita”.

Selanjutnya istilah komik ini akan disebut dengan manga dan novel grafis masuk dalam genre tersendiri yaitu gekiga.


Hanyut ini bisa dibilang novel yang sifatnya autobiografis, yang menceritakan kehidupan mangawan (penulisanya sendiri) Yoshihiro Tatsumi yang namanya dalam novel ini diubah menjadi Hiroshi Katsumi. Di dalam novel ini Tatsumi menarasikan peristiwa-peristiwa sosial budaya penting dalam sejarah Jepang pasca Perang Dunia Kedua seperti masuknya film-film Hollywood di Jepang yang kemudian mempengaruhi cerita-cerita dalam manga, wrestling, penemuan mesin cuci, kecelakaan kereta api dan juga kapal laut, kontes Miss Universe, ataupun masuknya Coca Cola yang kemudian menjadi konsumsi umum rakyat Jepang.

Membaca novel Hanyut ini seperti membaca komik dalam komik karena di dalamnya terdapat evolusi komik (manga) yang tadinya hanya berupa bacaan anak-anak dalam Taman Bacaan yang berubah menjadi bacaan dewasa yang merupakan andil dari para mangawan (pembuat manga) yang ingin keluar dari mainstream manga dan tuntutan para penerbit. Evolusi inilah yang menciptakan gekiga yang berisi cerita dengan alur yang panjang dan juga teknik penggambaran gaya baru. Dalam Hanyut ini Yoshihiro (Hiroshi) juga menceritakan beberapa mangawan terkenal, salah satunya adalah Fujiko Fujio (pencipta Doraemon) dan kehidupan para mangawan lainnya pada saat itu yang digambarkan bekerja dengan sangat serius dan produktif di tengah tuntutan para penerbit yang saling bersaing dengan sangat ketat dan juga tenggat waktu dan idealisme para mangawan.

Secara keseluruhan novel ini menurut saya dapat menghanyutkan pembacanya ke dalam sejarah pertumbuhan manga dan juga sejarah sosial Jepang.Yang unik dari terjemahan Hanyut ini dalam bahasa Indonesia adalah ketika konteks-konteks budaya bahasa Indonesia masuk ke dalam novel ini (mungkin ini memang teknik atau standar Nalar dalam menerjemahkannya sehingga dapat diterima dengan baik oleh pembaca Indonesia) seperti kata Mas, Mbak, ataupun kata Alhamdulillah.


Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

#Day 7: Daisy, Kumbang dan Matahari Bercerita pada Taman

Than there to look upon the daisy, That for good reason men do name The ‘day’s-eye’ or else the ‘eye of day,’ The  Empress,  and flower of flowers all. I pray to God good may her befall.   ~Chaucer   Adalah bunga liar nan tumbuh bergerombol, kecil-kecil dengan warna putih dan nektarnya yang kuning, semarak menghiasi taman dengan kemilau yang mengharmonisasi hijau daun dan alang-alang. Ia selalu ingin bisa seperti mereka yang indah dan anggun menghiasi taman. Ia kemudian hanya bisa tersenyum simpul, tangkai dan kelopaknya berdansa kian kemari tatkala angin semilir meniup kehidupannya yang nyaris sempurna. Chaucer berfilosofi, daisy adalah "the day's eye" matanya hari, matahari. Ia mencuri bentuk Matahari. Bentuknya menyerupai mata sang hari, yang begitu indah menerangi. Tapi di sudut taman ini, ada setangkai Daisy yang merasa kelabu, harapannya kosong. Daisy yang tidak pernah bisa percaya diri, Daisy yang tidak pernah bisa melihat bahwa dirinya sama indahny