Antara Aku, Si Merah, dan Si Hitam
Aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, aku harus menulis tentang aku, tentang kami, tentang apa yang sudah terjadi sebelum semuanya menjadi kacau, hanya gara-gara ulahku, sebelum semua terlambat. Sebelum…
Ini tentang Aku, si Merah, dan si Hitam. Kami bersama-sama bermain dalam taman belakang rumah yang kami juluki rimba. Rimba, karena sangat luas untuk ukuran taman dan juga jauh dibilang indah karena tidak terurus. Namun, ada empat pepohonan tua besar yang tinggi menjulang tumbuh di taman ini. Mereka sejajar berhimpitan dan hampir membentuk setengah lingkaran, seperti empat sekawan yang sedang berangkulan tangan, kami menjadi sulit membedakan mana ranting dari pohon yang satu dengan pohon yang lainnya.
Pepohon itulah yang membuat taman ini tampak seperti rimba belantara, cahaya matahari sulit menembus tanah taman ini hingga jika tiba musim penghujan tanah menjadi berlumut dan tumbuh jamur disela-sela kaki pepohon itu. Tapi aku amat menyukai aroma yang keluar dari perpaduan lumut, jamur, dan bau tanah basah. Bau khas yang membuatku bersemangat tiap kali menjelajah taman ini bersama kedua temanku. Bau petualangan yang menggiring aku, si Merah, dan si Hitam masuk kedalamnya.
Tubuhku memang paling kecil jika dibandingkan dengan si Merah atau si Hitam tapi akulah yang paling pemberani diantara mereka. Setidaknya itulah yang aku alami. Aku menjadi pemimpin antara kami bertiga, dalam perjalanan kami di taman ini akulah yang berjalan paling depan. Kami tidak berjalan beriringan melainkan berbaris seperti tentara. Merah sering sekali menengok kekiri dan kanan seperti seorang yang sedang melakukan senam irama.
“Kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri…” begitulah Hitam meledek Merah tiap kali Merah memengokkan kepalanya ke kanan dan kiri. Gerakan Merah berirama tanpa takut kepalanya tak bisa berhenti menengok. Ketika kutanya kenapa dia selalu begitu dia hanya menjawab ringan, “aku waspada, takut ada musuh menerjang!” lalu Hitam pun tertawa.
“Kita hanya di taman Red, tak perlu takut.” Ujar Hitam.
Ia selalu memanggil Merah dengan julukan Red, dan terkadang ia sering marah jika aku memanggilnya Hitam, ia ingin dipanggil Black.
“Cool is Black, Black is Cool, damn people that say we’re fool!” katanya suatu ketika dengangaya rapper yang ia contoh dari MTV. Aku geli melihatnya seperti itu, bicaranya bagai orang kulit Putih padahal dia sendiri Hitam.
“Lalu kenapa kau selalu berada di belakang Black? Bukan karena kau juga takutkan ?” Tanyaku pada Hitam.
“Justru aku berada di belakang untuk mengawasi kalian para perempuan yang lemah. Hahaha…” Sial! Lagi-lagi gender yang ia permasalahkan. Aku hanya bersungut mendengar celotehnya yang menyebalkan, tunggu sampai aku buktikan bahwa kau memang penakut.
Well, sebenarnya ini bukan masalah takut atau berani tapi ini masalah tanggung jawab. Ya, kami harus bertanggung jawab atas ucapan kami tempo hari tentang taman ini.
Aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, aku harus menulis tentang aku, tentang kami, tentang apa yang sudah terjadi sebelum semuanya menjadi kacau, hanya gara-gara ulahku, sebelum semua terlambat. Sebelum…
Ini tentang Aku, si Merah, dan si Hitam. Kami bersama-sama bermain dalam taman belakang rumah yang kami juluki rimba. Rimba, karena sangat luas untuk ukuran taman dan juga jauh dibilang indah karena tidak terurus. Namun, ada empat pepohonan tua besar yang tinggi menjulang tumbuh di taman ini. Mereka sejajar berhimpitan dan hampir membentuk setengah lingkaran, seperti empat sekawan yang sedang berangkulan tangan, kami menjadi sulit membedakan mana ranting dari pohon yang satu dengan pohon yang lainnya.
Pepohon itulah yang membuat taman ini tampak seperti rimba belantara, cahaya matahari sulit menembus tanah taman ini hingga jika tiba musim penghujan tanah menjadi berlumut dan tumbuh jamur disela-sela kaki pepohon itu. Tapi aku amat menyukai aroma yang keluar dari perpaduan lumut, jamur, dan bau tanah basah. Bau khas yang membuatku bersemangat tiap kali menjelajah taman ini bersama kedua temanku. Bau petualangan yang menggiring aku, si Merah, dan si Hitam masuk kedalamnya.
Tubuhku memang paling kecil jika dibandingkan dengan si Merah atau si Hitam tapi akulah yang paling pemberani diantara mereka. Setidaknya itulah yang aku alami. Aku menjadi pemimpin antara kami bertiga, dalam perjalanan kami di taman ini akulah yang berjalan paling depan. Kami tidak berjalan beriringan melainkan berbaris seperti tentara. Merah sering sekali menengok kekiri dan kanan seperti seorang yang sedang melakukan senam irama.
“Kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri…” begitulah Hitam meledek Merah tiap kali Merah memengokkan kepalanya ke kanan dan kiri. Gerakan Merah berirama tanpa takut kepalanya tak bisa berhenti menengok. Ketika kutanya kenapa dia selalu begitu dia hanya menjawab ringan, “aku waspada, takut ada musuh menerjang!” lalu Hitam pun tertawa.
“Kita hanya di taman Red, tak perlu takut.” Ujar Hitam.
Ia selalu memanggil Merah dengan julukan Red, dan terkadang ia sering marah jika aku memanggilnya Hitam, ia ingin dipanggil Black.
“Cool is Black, Black is Cool, damn people that say we’re fool!” katanya suatu ketika dengan
“Lalu kenapa kau selalu berada di belakang Black? Bukan karena kau juga takut
“Justru aku berada di belakang untuk mengawasi kalian para perempuan yang lemah. Hahaha…” Sial! Lagi-lagi gender yang ia permasalahkan. Aku hanya bersungut mendengar celotehnya yang menyebalkan, tunggu sampai aku buktikan bahwa kau memang penakut.
Well, sebenarnya ini bukan masalah takut atau berani tapi ini masalah tanggung jawab. Ya, kami harus bertanggung jawab atas ucapan kami tempo hari tentang taman ini.
Comments