(Tulisan ini saya temukan ketika saya sedang iseng buka-buka folder diary dikomputer saya. Bertanggalkan 27 Maret 2008, saya tulis ketika saya sedang menekuni mata kuliah Pop Culture, tapi tentu saja yang ini sudah melalui proses editing lol!!!)
Keindahan memang menjadi obsesi manusia, khususnya perempuan, pujian dengan kata cantik adalah sesuatu yang mungkin diharapkan sebagian dari mereka. Keindahan bagi perempuan identik dengan kecantikan. Standard nilai untuk sebuah kecantikan biasanya diukur dari segi-segi fisikalitas perempuan seperti kulit yang putih, rambut yang panjang dan mengilap, juga tubuh yang langsing. Inilah citra kecantikan dunia kita. Menjadi cantik dan sempurna bukan lagi sebuah angan-angan, namun telah menjadi suatu keharusan.
Saya, sebagai perempuan yang hidup di abad postmodern ini kerap kali mempertanyakan apakah standard kecantikan tersebut merupakan sesuatu yang realistic?? Benarkah bahwa dengan berkulit putih dan bertubuh langsing lalu didefinisikan sebagai cantik???? Bahwa semua perempuan harus memenuhi semua standardisasi kecantikan tersebut???
Well, lalu siapa yang membuat standard kecantikan tersebut??? Sudah turun temurunkah atau ulah para agen-agen budaya yang disokong oleh kehidupan yang serba kapitalis? yang selalu berusaha untuk menyeragamkan perempuan seperti manekin yang berpose dengan tatapan mata kosong yang terlihat bodoh di etalase-etalase toko? Seperti itukah kecantikan?
Kecantikan seperti itu adalah kecantikan yang streotipikal yang tunduk pada sebuah grand narasi yang mengagung-agungkan kesempurnaan. Grand narasi yang memperbudak para perempuan di dunia yang membuat mereka menderita bulimia, anorexia, korban salah suntik Botolinum Toxin yang kita kenal dengan istilah botox, maupun gagal operasi plastik dsb.
Bukankah hal itu terasa sangat konyol??? Saya hanya bisa tersenyum nyinyir dan menyeringai ketika melihat banyaknya iklan-iklan pemutih wajah, di majalah dan (lebih parah lagi) di televisi. Mengapa harus putih? Apakah karena berkulit putih menujukan suatu keindahan yang 'superior'?? Bukankah bangsa kita adalah bukan bangsa kulit putih dan iklan-iklan obat pemutih tersebut cenderung mengidealisasikan suatu ras tertentu (ras yang sejak dulu menjajah negeri kita tercinta ini). Tidakkah terdengar seperti kita masih hidup di era kolonisasi untuk mengatakan bahwa ada konsep superioritas ciri-ciri biologis dalam standardisasi keindahan dan kecantikan? Kalau benar begitu, apa kabar saudari-saudari kita di Irian Jaya??
Bila kecantikan semata-mata hanya dinilai secara ragawi, dilihat lewat fisikalitas, tidakkah paham kecantikan menjadi begitu kerdil?? Kecantikan dan keindahan sesungguhnya adalah milik individu masing-masing, yang melampaui batasan-batasan dan aturan media.
Teman saya, Ratna, pernah berkata (ketika dia mengomentari salah satu dosen saya yang sangat cantik namun terkenal aro***) "dia merasa dirinya cantik, makanya dia begitu aro***, tau gak?? dengan kecantikannya itu dia bisa menggenggam separuh dari dunia ini". Saya hanya tersenyum kala itu (entah dia mengucapkannya karena sedang kesal atau karena ***).
Well, menjadi cantik memang mebuat perempuan merasa berada dipuncak dunia, menggenggam separuh dunia, tapi hendaknya puncak itu dicapai dengan kenyamanan dan kedamaian hati. Memang kecantikan dapat membuka semua pintu, tetapi kecantikan yang tersebut harus memiliki ruh pengetahuan. Memang kecantikan dapat membuat semua tertunduk, tapi bukan kecantikan yang arogan, tapi kecantikan yang bersahaja.
Hal yang perlu direnungi dan dimengerti adalah, kita sebagai perempuan tidak perlu menyiksa diri demi mencapai absurditas standard kecantikan tersebut. Mulai saat ini anggap saja standard tersebut nihil, karena kriteria kesempurnaan tersebut merampas kebebasan kita untuk menjadi seorang perempuan yang unik.
Keindahan memang menjadi obsesi manusia, khususnya perempuan, pujian dengan kata cantik adalah sesuatu yang mungkin diharapkan sebagian dari mereka. Keindahan bagi perempuan identik dengan kecantikan. Standard nilai untuk sebuah kecantikan biasanya diukur dari segi-segi fisikalitas perempuan seperti kulit yang putih, rambut yang panjang dan mengilap, juga tubuh yang langsing. Inilah citra kecantikan dunia kita. Menjadi cantik dan sempurna bukan lagi sebuah angan-angan, namun telah menjadi suatu keharusan.
Saya, sebagai perempuan yang hidup di abad postmodern ini kerap kali mempertanyakan apakah standard kecantikan tersebut merupakan sesuatu yang realistic?? Benarkah bahwa dengan berkulit putih dan bertubuh langsing lalu didefinisikan sebagai cantik???? Bahwa semua perempuan harus memenuhi semua standardisasi kecantikan tersebut???
Well, lalu siapa yang membuat standard kecantikan tersebut??? Sudah turun temurunkah atau ulah para agen-agen budaya yang disokong oleh kehidupan yang serba kapitalis? yang selalu berusaha untuk menyeragamkan perempuan seperti manekin yang berpose dengan tatapan mata kosong yang terlihat bodoh di etalase-etalase toko? Seperti itukah kecantikan?
Kecantikan seperti itu adalah kecantikan yang streotipikal yang tunduk pada sebuah grand narasi yang mengagung-agungkan kesempurnaan. Grand narasi yang memperbudak para perempuan di dunia yang membuat mereka menderita bulimia, anorexia, korban salah suntik Botolinum Toxin yang kita kenal dengan istilah botox, maupun gagal operasi plastik dsb.
Bukankah hal itu terasa sangat konyol??? Saya hanya bisa tersenyum nyinyir dan menyeringai ketika melihat banyaknya iklan-iklan pemutih wajah, di majalah dan (lebih parah lagi) di televisi. Mengapa harus putih? Apakah karena berkulit putih menujukan suatu keindahan yang 'superior'?? Bukankah bangsa kita adalah bukan bangsa kulit putih dan iklan-iklan obat pemutih tersebut cenderung mengidealisasikan suatu ras tertentu (ras yang sejak dulu menjajah negeri kita tercinta ini). Tidakkah terdengar seperti kita masih hidup di era kolonisasi untuk mengatakan bahwa ada konsep superioritas ciri-ciri biologis dalam standardisasi keindahan dan kecantikan? Kalau benar begitu, apa kabar saudari-saudari kita di Irian Jaya??
Bila kecantikan semata-mata hanya dinilai secara ragawi, dilihat lewat fisikalitas, tidakkah paham kecantikan menjadi begitu kerdil?? Kecantikan dan keindahan sesungguhnya adalah milik individu masing-masing, yang melampaui batasan-batasan dan aturan media.
Teman saya, Ratna, pernah berkata (ketika dia mengomentari salah satu dosen saya yang sangat cantik namun terkenal aro***) "dia merasa dirinya cantik, makanya dia begitu aro***, tau gak?? dengan kecantikannya itu dia bisa menggenggam separuh dari dunia ini". Saya hanya tersenyum kala itu (entah dia mengucapkannya karena sedang kesal atau karena ***).
Well, menjadi cantik memang mebuat perempuan merasa berada dipuncak dunia, menggenggam separuh dunia, tapi hendaknya puncak itu dicapai dengan kenyamanan dan kedamaian hati. Memang kecantikan dapat membuka semua pintu, tetapi kecantikan yang tersebut harus memiliki ruh pengetahuan. Memang kecantikan dapat membuat semua tertunduk, tapi bukan kecantikan yang arogan, tapi kecantikan yang bersahaja.
Hal yang perlu direnungi dan dimengerti adalah, kita sebagai perempuan tidak perlu menyiksa diri demi mencapai absurditas standard kecantikan tersebut. Mulai saat ini anggap saja standard tersebut nihil, karena kriteria kesempurnaan tersebut merampas kebebasan kita untuk menjadi seorang perempuan yang unik.
Comments
maaf ya nek udah bawa2 nama lo, tapi mang bener kan?? gw inget banget lo bilang gitu waktu kita di angkot, hmmmm itu loh waktu lo ngomong tentang ms. ****.
Hehehhe piss Na...
setelah baca tulisan ini aku jadi ngeri skrang...thanks k des
"setelah baca tulisan ini aku jadi ngeri skrang..."
kok jadi ngeri sih Pit???