Skip to main content

On the Pleasure of Hating

An essay by, William Hazlitt

The pleasure of hating, like a poisonous mineral, eats into the heart of religion, and turns it to rankling spleen and bigotry; it makes patriotism an excuse for carrying fire, pestilence, and famine into other lands: it leaves to virtue nothing but the spirit of censoriousness, and a narrow, jealous, inquisitorial watchfulness over the actions and motives of others.

What have the different sects, creeds, doctrines in religion been but so many pretexts set up for men to wrangle, to quarrel, to tear one another in pieces about , like a target as a mark to shoot at? Does any one suppose that the love of country in an Englishman implies any friendly feeling or disposition to serve another bearing the same name? No, it means only hatred to the French or the inhabitants of any other country that we happen to be at war with for the time.

Does the love of virtue denote any wish to discover or amend our own faults? No, but it atones for an obstinate adherence to our own vices by the most virulent intolerance to human frailties. This principle is of a most universal application. It extends to good as well as evil: if it makes us hate folly, it makes us no less dissatisfied with distinguished merit. If it inclines us to resent the wrongs of others, it impels us to be as impatient of their prosperity. We revenge injuries: we repay benefits with ingratitude.

Even our strongest partialities and likings soon take this turn. "That which was luscious as locusts, anon becomes bitter as coloquintida;" and love and friendship melt in their own fires. We hate old friends: we hate old books: we hate old opinions; and at last we come to hate ourselves.

Comments

Popular posts from this blog

"Bagai Pasir di Tanah itu, Aku Tak Harus jadi Penting" (Seno Gumira)

Saya mengutip dari Seno Gumira "Bagai pasir di tanah itu, saya tak harus jadi penting." Karena saya adalah hanya saya, dan kesayaan inilah yang mungkin membuat saya berfikir bahwa saya tidaklah harus menjadi penting dan dipergunjingkan. Ini adalah hidup saya. Saya yang menjalaninya dan sayalah pula yang akan menanggung akibat dari baik atau buruknya suatu perbuatan yang saya lakukan, dan saya mencoba sangat untuk bertanggung jawab atas itu semua. Lalu anggaplah saya hanya sebagai pasir yang terhampar pada gundukan tanah itu, tak ada gunanya memperhatikan saya karena saya hanyalah materi yang mungkin sama dan tak penting. Tapi kenapa sepertinya kehidupan saya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Saya tidak sedang merasa sebagai selebritis, tapi saya hanya merasa kehidupan saya yang sudahlah amat cukup terisolasi oleh ketidakhadiran dan ketidakpentingan saya, menjadi terusik. Sebenarnya pula saya bisa saja tidak peduli akan semua itu, seperti ketidakpedulian mereka terha

#Day 7: Daisy, Kumbang dan Matahari Bercerita pada Taman

Than there to look upon the daisy, That for good reason men do name The ‘day’s-eye’ or else the ‘eye of day,’ The  Empress,  and flower of flowers all. I pray to God good may her befall.   ~Chaucer   Adalah bunga liar nan tumbuh bergerombol, kecil-kecil dengan warna putih dan nektarnya yang kuning, semarak menghiasi taman dengan kemilau yang mengharmonisasi hijau daun dan alang-alang. Ia selalu ingin bisa seperti mereka yang indah dan anggun menghiasi taman. Ia kemudian hanya bisa tersenyum simpul, tangkai dan kelopaknya berdansa kian kemari tatkala angin semilir meniup kehidupannya yang nyaris sempurna. Chaucer berfilosofi, daisy adalah "the day's eye" matanya hari, matahari. Ia mencuri bentuk Matahari. Bentuknya menyerupai mata sang hari, yang begitu indah menerangi. Tapi di sudut taman ini, ada setangkai Daisy yang merasa kelabu, harapannya kosong. Daisy yang tidak pernah bisa percaya diri, Daisy yang tidak pernah bisa melihat bahwa dirinya sama indahny