Apakah benar adanya teori hard determinism yang diamini Spinoza? Bahwa kita hidup tidak mempunyai 'free will'. Kita bergerak mengikuti kemauan keadaan, kondisi dari keadaan itu? Bahwa Past, Present, dan Future sudah tetap adanya? Bahwa kehidupan yang ada sudahlah menjadi jalan kita. Takdir saya sebagai perempuan, beribu A berbapak B, mungkin iya, tapi nasib???
Pandangan hard determinism yang menganggap bahwa manusia tidak mempunyai free will dan bahwa konsep free will tersebut sangat berlawanan dengan kerangka determinisme (alam) membuat saya berpikir, bahwa menangisi dan meratapi hidup adalah sesuatu yang sia-sia belaka. Sesuatu yang tidak relevan. Karena hidup saya sudah ditentukan begitu adanya.
Benarkah begitu?
Namun jika Spinoza benar adanya, saya tetap ingin menangis malam ini, saya tetap merasa kecewa pada diri saya. Kecewa pada target, pada planning yang tidak (belum) tercapai dalam hidup saya. (Maklum saya orang yang begitu terorder, sehingga semua harus sesuai rencana).
Dan sayapun menangis, saya kecewa.
Meski saya kesal bahwa dalam hati saya tertancap apa yang dikatakan oleh Spinoza, bahwa apapun yang saya perbuat tidak akan merubah apapun yang telah digariskan tuhan akan terjadi. Well, sama dengan menangis. Menangis tidak akan merubah apa yang sudah terjadi. Kegagalan, pengkhianatan, kehilangan, apapun itu, airmata tidak bisa menghapus semua fakta-fakta itu.
Saya kecewa dan saya juga menangis, tapi hanya itu pelarian saya. Karena mengeluarkan kalori dengan cara menangislah dapat melepaskan pertikel-partikel sesak yang mengganjal di hati dan kepala saya. (Sebetulnya saya memang cengeng, gak di SMS seharian sama kekasih aja, saya sudah begitu khawatirnya, sampe nangis dan berpikiran yang tidak-tidak -lol-). Setelah menangis, baru saya lega. Sedikit.
Namun Albert Camus berpendapat bahwa menjadi kecewa adalah hal yang wajar dialami manusia. Dan bagi mereka kaum optimistic, Albert Camus berseloroh dengan mengatakan bahwa kita harus terbiasa dengan kekecewaan, itulah kenyataan manusia. "Life is absurd, it enslaves you". Hidup itu absurd dan hidup memperbudak kita. Dan saya mereasa telah diperbudak oleh keinginan saya, cita-cita saya dan harapan saya, yang sampai saat ini belum terwujud adanya dan membuat saya malu akan itu.
Dan saya kecewa akan itu.
Saya kecewa karena harapan tidak sesuai dengan kenyataan (lagi-lagi terbentur kenyataan). Kekecewaan, disapointment, hanyalah sebagian kecil dari perubahan-perubahan yang sejatinya ingin saya lakukan, karena saya tidak ingin mengikuti grand narasi alam seperti yang dikatakan dalam hard determinism nya Spinoza. Duh, saya sok eksistensialis jadinya.
Masa bodo.
Saya cuma sedang merasa kecewa, atas sesuatu. Dan saya bosan mendengarkan alasan-alasan yang mengkambinghitamkan kondisi, takdir, sabar, dan bla..bla...bla...Namun, saya tidak ingin larut terus menerus dalam kekecewaan saya ini. Saya ingin menjadi perempuan yang berani mengambil keputusan dan memaku jiwa saya pada keputusan tersebut tanpa ada penyesalan dikemudian hari jika nanti saya gagal lagi.
Duh saya jadi tidak konsisten, saya kecewa dengan keadaan tapi yang saat ini saya lakukan hanya menangis -lol-
Tolong jangan tertawakan saya.
NB:
Gak nyambung nih sama judulnya, saat menuliskan ini saya sedang sakit kepala berat dan saya butuh lebh dari sekedar analgesic yaitu pain killer, saya butuh pencerahan, dari dalam diri saya tepatnya hehehehe.
Pandangan hard determinism yang menganggap bahwa manusia tidak mempunyai free will dan bahwa konsep free will tersebut sangat berlawanan dengan kerangka determinisme (alam) membuat saya berpikir, bahwa menangisi dan meratapi hidup adalah sesuatu yang sia-sia belaka. Sesuatu yang tidak relevan. Karena hidup saya sudah ditentukan begitu adanya.
Benarkah begitu?
Namun jika Spinoza benar adanya, saya tetap ingin menangis malam ini, saya tetap merasa kecewa pada diri saya. Kecewa pada target, pada planning yang tidak (belum) tercapai dalam hidup saya. (Maklum saya orang yang begitu terorder, sehingga semua harus sesuai rencana).
Dan sayapun menangis, saya kecewa.
Meski saya kesal bahwa dalam hati saya tertancap apa yang dikatakan oleh Spinoza, bahwa apapun yang saya perbuat tidak akan merubah apapun yang telah digariskan tuhan akan terjadi. Well, sama dengan menangis. Menangis tidak akan merubah apa yang sudah terjadi. Kegagalan, pengkhianatan, kehilangan, apapun itu, airmata tidak bisa menghapus semua fakta-fakta itu.
Saya kecewa dan saya juga menangis, tapi hanya itu pelarian saya. Karena mengeluarkan kalori dengan cara menangislah dapat melepaskan pertikel-partikel sesak yang mengganjal di hati dan kepala saya. (Sebetulnya saya memang cengeng, gak di SMS seharian sama kekasih aja, saya sudah begitu khawatirnya, sampe nangis dan berpikiran yang tidak-tidak -lol-). Setelah menangis, baru saya lega. Sedikit.
Namun Albert Camus berpendapat bahwa menjadi kecewa adalah hal yang wajar dialami manusia. Dan bagi mereka kaum optimistic, Albert Camus berseloroh dengan mengatakan bahwa kita harus terbiasa dengan kekecewaan, itulah kenyataan manusia. "Life is absurd, it enslaves you". Hidup itu absurd dan hidup memperbudak kita. Dan saya mereasa telah diperbudak oleh keinginan saya, cita-cita saya dan harapan saya, yang sampai saat ini belum terwujud adanya dan membuat saya malu akan itu.
Dan saya kecewa akan itu.
Saya kecewa karena harapan tidak sesuai dengan kenyataan (lagi-lagi terbentur kenyataan). Kekecewaan, disapointment, hanyalah sebagian kecil dari perubahan-perubahan yang sejatinya ingin saya lakukan, karena saya tidak ingin mengikuti grand narasi alam seperti yang dikatakan dalam hard determinism nya Spinoza. Duh, saya sok eksistensialis jadinya.
Masa bodo.
Saya cuma sedang merasa kecewa, atas sesuatu. Dan saya bosan mendengarkan alasan-alasan yang mengkambinghitamkan kondisi, takdir, sabar, dan bla..bla...bla...Namun, saya tidak ingin larut terus menerus dalam kekecewaan saya ini. Saya ingin menjadi perempuan yang berani mengambil keputusan dan memaku jiwa saya pada keputusan tersebut tanpa ada penyesalan dikemudian hari jika nanti saya gagal lagi.
Duh saya jadi tidak konsisten, saya kecewa dengan keadaan tapi yang saat ini saya lakukan hanya menangis -lol-
Tolong jangan tertawakan saya.
NB:
Gak nyambung nih sama judulnya, saat menuliskan ini saya sedang sakit kepala berat dan saya butuh lebh dari sekedar analgesic yaitu pain killer, saya butuh pencerahan, dari dalam diri saya tepatnya hehehehe.
Comments